Ada pepatah: Gantungkanlah Cita-Citamu Setinggi Langit.
Pepatah tersebut seolah mampu membius jutaan anak kecil di negeri ini. Ya, karena kata-kata pada pepatah tersebut seringkali diucapkan oleh guru-guru TK atau SD kepada murid-muridnya.
Tidak salah memang bagi guru TK atau SD menyampaikan pepatah tersebut. Barangkali memang standar materi yang wajib disampaikan kepada mereka ya tentang bagaimana seharusnya tiap orang mempunyai cita-cita setinggi-tingginya.
Makanya tidaklah mengherankan ketika anak TK atau SD ditanya apa cita-citamu? Seringkali kita mendengar mereka bercita-cita menjadi presiden, dokter, tentara. Amat sangat jarang mendengar mereka bercita-cita menjadi pedagang maupun petani. Barangkali menjadi pedagang atau petani bukanlah cita-cita yang tinggi, melainkan cita-cita yang biasa saja. Sebaliknya menjadi presiden, dokter, dan tentara dianggap sebagai cita-cita yang tinggi.
Pikiran anak-anak pada usia TK dan SD umumnya masih imajinatif. Daya imajinasi masih sangat kuat melekat pada pikiran mereka. Makanya ketika ditanya tentang cita-cita mereka akan menjawab seperti itu. Apa yang terlintas dalam imajinasi mereka hanyalah cita-cita yang diinginkan, tanpa memikirkan dengan cara seperti apa cita-cita itu akan dicapai, dan kapan cita-cita itu akan diraih.
Cita-Cita Harus Terukur
Ketika anak-anak sudah memasuki SMP, biasanya mereka sudah mulai memahami apa dan siapa dirinya. Mulai mampu mengukur kemampuan akademisnya seperti apa. Wajar saja, karena untuk menjadi presiden, dokter tentunya harus memiliki prestasi akademik yang cemerlang. Kalau ternyata prestasi akademisnya biasa-biasa saja, tentu akan berpikir ulang tentang apa yang telah dicita-citakan sewaktu TK atau SD.
Memasuki jenjang SMU, umumnya cita-cita mulai mengalami penurunan. Si anak mulai sadar langkah apa yang harus ditempuh jika tetap ingin bertahan dengan cita-citanya sewaktu TK atau SD. Ia sudah bisa mengukur kemampuan akademisnya dibandingkan dengan teman-teman di sekolahnya. Apalagi ketika dihadapkan pada pilihan harus menentukan akan melanjutkan kuliah pada jurusan apa di perguruan tinggi mana. Si anak sudah bisa membaca akan jadi apa nantinya. Katakana akhirnya diterima pada jurusan keguruan, hampir dapat dipastikan ia nantinya akan menjadi guru. Walaupun tidak ada keharusan kalau kuliah pada jurusan keguruan harus menjadi guru. Tentu kita sering mendengar lulusan sarjana bekerja tidak sesuai dengan disiplin ilmunya.
Itulah gambaran bagaimana ketika bercita-cita harus terukur. Tau dengan jalan apa meraih cita-cita tersebut dan siapa-siapa saja yang akan dilibatkan untuk meraih cita-cita itu. Ilustasi di atas juga menggambarkan umumnya apa yang kita jalani sekarang bukanlah yang kita cita-citakan sebelumnya.
Anda tentu pernah, atau bahkan sering mendengar ada seseorang yang bercerita bahwa apa yang dijalani sekrang bukanlah apa yang dicita-citakan sebelumnya. Bahkan tidak pernah terlintas sedikitpun akan menjalani kehidupan seperti sekarang.
Kalau anak-anak TK atau SD bercita-cita setinggi-tingginya masih wajar, karena alam pikiran mereka masih diliputi hal-hal berbau imajinasi. Namun ketika anda saat ini mempunyai cita-cita, tentunya harus terukur. Katakan saat ini anda adalah seorang pedagang eceran sembako, anda boleh bercita-cita menjadi pedagang grosir sembako atau bahkan supplier sembako. Tapi anda harus tau cara apa yang harus anda tempuh dan siapa yang anda libatkan untuk mencapai cita-cita anda. Anda juga harus menentukan kapan waktunya anda akan mencapai cita-cita itu. Jika di tengah perjalanan anda merasa cita-cita tersebut sulit dicapai, anda bisa melakukan evaluasi, apakah masih tetap dengan cita-cita itu, ataukah harus merubah cita-cita anda.
Jadi, masihkah “harus” bercita-cita setinggi langit? (*)