Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Nasionalisme dan Welfare State

15 Oktober 2014   15:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:56 90 2
Siswono Yudo Husodo, menulis: "Indonesia: "Welfare State" Yang Belum Sejahtera (Kompas, 25/4/2006). Tulisan Pak Siswono ini, adalah kongklusi dari kondisi Indonesia sebagai negara kesejahteraan yang masih belum sejahtera. Ini ditandai dengan masih adanya komersialisasi pendidilkan dan kesehatan. Sumber pendanaan pembangunan yang masih bergantung pada hutang luar negeri. Semangat kemandirian belum diimbangi dengan kapasitas anak bangsa ini untuk memenuhi kebutuhan dasar sendiri. Untuk memenuhi sembilan bahan pokok juga bergantung pada impor dari luar negeri.
Di usia ke-69 tahun ini, Indonesia sejahtera masih berupa cita belum realita. Kendati, Ikhtiar seluruh anak bangsa untuk mewujudkan kesejahteraan, masih terus dilakukan. Kebijakan nasionalisasi perusahan asing di era rezim Orde Lama, kebijakan konglomrasi di era rezim Orde Baru, serta liberalisasi ekonomi di era rezim Reformasi, tak cukup mujarab untuk memenuhi standart hidup minum setiap warga negara. Sementara, negara masih tetap terbelit dengan persoalan klise: kemiskinan, pengangguran, ketimpangan sosial, ketimpangan antar wilayah, kerusakan lingkungan hidup, dan lain sebagainya.
Persoalan klise di atas sesungguhnya merupakan sebab dari akibat negara yang belum bisa memenuhi standart hidum minimum dari setiap warganya. Dalam konteks ini, negara yang paling bertanggungjawab beserta struktur dan aparatur pemerintah, baik di pusat, propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, maupun di desa/kelurahan. Pembukaan UUD 1945 mengamanahkan: "Pemerintah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa".
Namun demikian, nampaknya, kita tidak bisa hanya bertumpuh pada pemerintah saja, tapi harus juga melibatkan masyarakat secara timbal-balik dalam mewujudkan negara kesejahteraan. Ini mengingat, kapasitas pemerintah kian berkurang, sementara kompleksitas persoalan bangsa kian bertambah. Bahkan, pemerintah sekarang menghadapi problem internal sendiri yang kronis dan akut. Budaya korupsi yang merajarela, serta mentalitas aparatur yang minta dilayani.
Oleh karena itu, ikhtiar semua pihak dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, baik pemerintah maupun masyarakat, tak kunjung menampak hasil. Malahan, ikhtiar itu terkadang menemui persimpangan jalan antara problem dan solusi. Problem dan solusi kian kabur. Sehingga, persoalan klise di atas tak pernah selesai dalam sepanjang sejarah. Solusi hanya bisa menurunkan kadar, tapi belum bisa sampai menghilangkan persoalan itu sendiri.
Data BPS menyebutkan, jumlah rakyat miskin di Indonesia 28,28 juta orang atau 11,25 persen. Jumlah pengangguran di Indonesia 7,15 juta orang atau 5,7 persen. Tingkat ketimpangan sosial di Indonesia sangat tinggi. Gini ratio mencapai 0,41. Ketimpangan antar wilayah Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Aktivitas ekonomi 80 persen di wilayah Indonesia barat, sementara sisanya di wilayah Timur. Kondisi lingkungan hidup Indonesia rawan bencana alam. Letusan gunung berapi, kebakaran hutan, banjir, tanah longsor, gempa bumi, tsunami, pencemaran air, udara dan tanah, adalah jamak di seluruh belahan wilayah Indonesia. Dan seterusnya.
Alhasil, program pengentasan kemiskinan dan pembukaan lapangan pekerjaan baru yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat tak cukup siginifikan untuk mengurangi jumlah rakyat miskin dan tingkat pengangguran terbuka. Sumbangsihnya di bawah 0,5 persen. Tahun 2014 ini misalnya, kemiskinan dan pengangguran hanya bisa ditekan 0,34 juta dan 0,21 juta saja dibandingkan dari tahun 2013. Itu artinya, kubangan kemiskinan dan pengangguran di Indonesia sulit ditutupi. Apalagi, potensi kubangan baru terbuka lebar, melalui bonus demografis yang tumbuh rata-rata 1,34 persen. Disamping, pertumbuhan angkatan kerja baru yang mencapai 1,72 juta tahun 2014.
Namun demikian, betapapun masa depan negara kesejahteraan Indonesia belum menemukkan "titik terang" dari serangkaian ikhtiar pemerintah dan masyarakat yang ada. Semua anak bangsa pasti terpanggil secara moral untuk menyumbangkan tenaga dan fikiran menjadi bagian dari solusi masalah, bukan menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Panggilan moral ini didorong dari rasa tanggungjawab terhadap masa depan Indonesia. Sebab, masa depan Indonesia adalah masa depan kita juga.
Setahun lagi, Indonesia akan memasuki ASEAN Economic Community (Masyarakat Ekonomi Asean). Dimana General Agreement on Tariff and Trade (GATT) WTO akan diberlakukan. Arus barang dan jasa dari luar negeri akan bebas masuk ke Indonesia, begitu pula sebaliknya. Mau tidak mau, siap atau tidak siap, Indonesia dengan segala kelebihan dan kekurangannya akan memasuki perdagangan bebas. Nasionalisme seluruh anak bangsa akan mendapat ujian terbesar dalam pergaulan masyarakat ekonomi Asean tersebut.
Nasionalisme bukan sekadar faham ideologi politik tapi juga faham ideologi ekonomi. Faham yang berisi kecintaan dan kebanggaan terhadap Indonesia sebagai kesatuan politik dan kesatuan ekonomi. Nasionalisme juga bukan sekadar identitas politik tapi juga identitas ekonomi. Identitas yang berisi ciri khas dan produk unggulan yang punya daya saing yang tinggi. Indonesia adalah negeri yang kaya raya: sumberdaya manusia, alam, dan budaya. Kekayaan ini modal dasar untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, serta bersaing dengan masyarakat ekonomi Asean yang lain.
Nasionalisme ekonomi yang paling relevan dan kontekstual untuk saat ini. Seluruh anak bangsa harus cinta produk dalam negeri dan bangga menggunakan produk dalam negeri tersebut. Rasa cinta dan bangga ini bagian dari doktrin agama sehari-hari. Seperti: hubbul wathan minal iman (cinta tanah air itu bagian dari iman), kulli hizbin bima ladaihim farihun (setiap masyarakat bangga terhadap apa yang ada pada diri mereka sendiri). Doktrin agama ini ikut mengkonstruksi nasionalisme ekonomi. Dimana cinta pada produksi dalam negeri dan bangga mengguna produksi dalam negeri itu bagian dari iman.
Produksi barang dan jasa di berbagai outlet di toko kecil maupun mall bukan sekadar "pilihan selera", akan tetapi juga menyangkut "pilihan keyakinan". Produksi dalam negeri yang berdaulat, akan melahirkan kesejahteraan rakyat, yang menjadi tanggungjawab seluruh anak bangsa. Tanggungjawab yang lahir dari keyakinan bahwa cinta tanah air itu bagian dari iman. Dan, bangga terhadap apa yang dimiliki juga bagian dari nilai luhur.
*Moch Eksan, Ketua DPD Partai NasDem Jember, dan Anggota DPRD Propinsi Jawa Timur.
**Bahan Seminar Kebangsaan dengan tema: "Semangat Nasionalisme dan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat", yang diselenggarakan oleh Gemas Wilayah Jawa Timur, Rabu, 15 Oktober 2014, di Aula Rektorat Unsuri Surabaya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun