Dan kita pun dapat menikmati berita-berita tentang lompatan-lompatan yang terus diciptakannya dalam memimpin Jakarta. Detik demi detik, para pewarta terus mengupdate dan menguntit plus mengawasi keduanya. Dari tempat yang satu ke tempat yang lain, dari acara yang satu ke acara yang lain, dari masalah yang satu ke masalah yang lain. Publik seakan menanti jatuhnya komet kesejahteraan untuk menunggu denyut dan gerak sang pemimpin.
Jokowi memang tidak sama dengan Ahok. Gaya kepemimpinannya pun jauh berbeda, pun gaya bicaranya kepada anak buah dan para pencari berita. Keberbedaan itu justru akan memperkuat sisi-sisi masing-masing dan dapat menjalankan peran masing-masing. Kita semua berharap "cemistry" mereka tidak akan runtuh seperti para pasang pemimpin yang akur rerentetan ketika mulai dan hancur berantakan ketika di tengah perjalanan.
Jokowi sebagai orang paling sentral dalam pemerintahan DKI Jakarta saat ini, terus menjadi perbincangan. Gaya kepemimpinannya juga "klik" dengan keinginan rakyat, nyantai, tegas, motivatif, merakyat dan menjadi problem solver bagi masalah yang dialami rakyatnya. Maka tidak aneh ketika Jokowi menyapa rakyatnya, respon mereka sangat luar biasa, bahkan hingga ada yang menangis karena diperhatikan oleh pemimpinnya.
Biacara Jokowi dan masalah yang dihadapinya di Jakarta, memang menarik. Sisi menarik yang sering menjadi perhatian adalah tindakan merakyatnya, mengayomi, mendengarkan keluhan, menghibur dan membahagiakan rakyatnya.
Dalam bertindak seseorang juga tidak akan lepas dari cara berpikir dan berpandang terhadap sesuatu. Kita mungik sering melihat pemimpin lain yang mencoba meniru cara Jokowi mendekati rakyatnya, namun dari sisi "udang" biasanya pemimpin itu lebih besar, sehingga tidak mampu menutupi keinginan "besar"nya di balik proses pendekatan kepada rakyatnya.
Hal penting yang mungkin tidak dapat lepas dari diri pemimpin adalah kejujurannya dalam berbagai masalah. Sebagaimana kita maklumi bersama, isu terbesar di Jakarta saat ini adalah kemacetan dan banjir. Dua isu besar ini seakan menjadi beban bagi Jokowi dan Ahok dalam menghadapi Jakarta.
Perihal banjir misalnya, untuk bersikap jujur, Jokowi mengatakan bahwa beliau bukan seorang Superman, sosok hebat yang dapat menyelesaikan segala masalah dengan cepat dan tepat. "Saya bukan Superman, dewa, tukang sulap, yang ngebalikin tangan bisa langsung hilangkan banjir" ucapnya di Jakarta (25/12). Walaupun demikian upaya terus dilakukan hingga saat ini dapat mengurangi 12 titik banjir dari 70 lokasi.
Pun masalah kemacetan, yang penulis yakin pemerintah tidak akan mampu menyelesaikan masalah kemacetan dalam tempo dekat, dengan system transportasi seperti saat ini, dan tanpa melibatkan banyak pihak. Upaya yang terus digaungkan oleh pemerintah DKI selayaknya terus didukung oleh pengguna jalanan di Jakarta.
Filosofi kepemimpinan Jokowi dengan segala gaya yang mengikutinya adalah hasil tempaan proses perjalanannya yang selama ini beliau lakoni di dalam masyarakat dan sosial di mana beliau berada di dalamnya. Sudutan-sudutan dari beberapa pihak, atau bahkan sanjungan hanya dihadapi dengan nyantai, tanpa terlihat emosi dalam menghadapi segala masalah yang dihadapi.
Dalam filsafat Jawa kita mengenal beberapa nilai yang masih relevan untuk diimplementasikan dan dalam beberapa hal layak untuk dipahami oleh para pemimpin, walaupun hidup di jaman modern dan kosmopolitan seperti Jakarta.
Ojo dumeh mengajarkan kita untuk bersikap wajar dan biasa-biasa saja. tetaplah kita berpijak kepada kebenaran, baik agama, hukum, budaya, sosial. Jangan sampai kita mudah merasa bahwa kita hebat, kaya, berkuasa, pintar, hingga kita menyepelekan yang lain. Jangan kita mentang-mentang, karena suatu saat semuanya itu akan kembali tidak ada. Maka seharusnya kita menjaga kepercayaan selagi dipercaya orang.
Ojo waton ngomong, nanging ngomonga nganggo waton. Frase ini mengajarkan agar kita mampu menjaga lisan, dan janganlah kita bicara tanpa dasar dan kaidah-kaidah yang benar. Lidah kita dalah pembunuh kita sendiri bila kita tidak mampu bijak dalam menggunakannya, maka berhati-hatilah bila kita bicara. Pikirkan perasaan, budaya, lawan biacara kita, sebelum bicara, karena penyesalan itu akan tiba setelah semuanya terjadi.
Ojo adigang adigung lan adiguna. Siapapun kita, kita tidak akan lepas dari kehidupan manusia, lingkungan dan masyarakat. Maka kita tidak perlu takabur dan jumowo dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat akan menilai kita semua dari kerendahan hati, sikap, bicara. Maka tidaklan layak bagi kita untuk merasa berkuasa, lebih tinggi, dan lebih bermanfaat atau berguna dari orang lain.
Ojo gampang gumunan. Frase ini memberi pesan bahwa kita sebaiknya tidak mudah heran melihat hal-hal yang baru. Di sini kita diajarkan untuk bersikap, berpikir, dan bertindak kritis. Jangan melihat sesuatu hanya dari kasingnya, dalamilah isinya, karena kasing itu tidak selalu representasi dari isinya. Carilah informasi sebanyak-banyaknya untuk membekali pengetahuan kita tentang segala sesuatu.
Itulah beberapa nilai "filsafat Jawa" yang sebaiknya para pemimpin implementasikan, agar mereka dekat dengan rakyatnya, tahu rakyatnya dan mengayomi rakyatnya. Penulis yakin, Jokowi lebih baik pemahamannya akan nilai-nilai tersebut, sehingga kita merindukan lahirnya pemimpin-pemimpin seperti sosok Jokowi.