Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Guru Indonesia Seharusnya Malu dan Introspeksi Diri

3 Agustus 2012   03:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:18 534 6
Sebelum pelaksanaan UKG (Uji Kompetensi Guru) beberapa waktu lalu terjadi beberapa perdebatan sengit antara guru yang tidak sepakat, sehingga mereka sepakat untuk menolak mengikuti UKG. Berbagai hal dijadikan alasan penolakan ujian itu diantaranya pemerintah kurang memberi waktu/ terlalu buru-buru, pemerintah kurang persiapan, kurang sosialisasi, tidak penting dan segala macam alasan lainnya.

Namun demikian masih banyak guru juga yang kooperatif dan tetap memenuhi undangan mengikuti uji dimaksud. Mereka tetap mengikuti tahapan-tahapan ujian yang diadakan untuk mengetahui kualitas guru dan peta kualitas guru.

Terlepas antara pro dan kontra dengan berbagai alasan yang dikemukakan, kita tetap harus mengapresiasi pemerintah atas kebijakan tersebut. Meskipun masih ditemukan kekurangan sana sini yang menjadikan para pihak yang kontra terus berusaha untuk meniadakan dan menggugat Permendikbud Nomor 57 Tahun 2012 tentang Uji Kompetensi Guru.

Seperti telah kita ketahui bersama bahwa sejatinya kualitas pendidikan kita masih jauh dari standar yang diharapkan. Keluhan-keluhan masyarakat tidak saja pada misalnya ketidakberesan proses seleksi peserta didik baru, ketidaktepatsasaran program sertifikasi, kedisiplinan guru, kualitas pengajaran dan evaluasi, namun lebih dari itu adalah mental para guru yang terkesan telah berada pada wilayah aman (confort zone) sebagai pegawai negeri.

Lebih-lebih lagi pegawai negeri yang telah berhasil mengantongi sertifikasi dengan tunjangan yang lumayan besar.

Kita semua berpikir bahwa anggaran pendidikan yang tinggi selama ini terasa belum berjalan seiring dengan kualitas output siswa. Dalam konteks sekolah yang dikelola oleh pemerintah (baca: negeri) yang seluruh biaya pendidikan dipikul oleh pemerintah seharusnya bisa mencapai target-target pendidikan nasional, misalnya pada angka ketuntasan 65.

Angka ketuntasan 65 adalah angka yang wajar sebaga standar pendidikan nasional. Oleh karena itu angka tersebut wajib disampaikan kepada khalayak pendidikan baik siswa maupun guru.

Pemerintah pun seharusnya terus mengejar angka tersebut sebagai angka patokan bahwa kualitas pendidikan terkecil seharusnya berada diangka tersebut. Maka dari itu, menjadi PR semua baik guru dan pemerintah untuk selalu berpacu untuk mencapai angka itu.

Berdasarkan informasi dari Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Dan Penjaminan Mutu Pendidik Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Syawal Gultom, per 1 Agustus ini nilai rata-rata nasional berada di angka 47.84. Peserta sementara yang menghasilkan nilai itu adalah 151 ribu guru atau sekitar 15 persen dari seluruh peserta UKG tahun 2012.

Terlepas valid atau tidak valid, seperti pernyataan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) , angka tersebut adalah angka sementara Uji Kompetensi Guru yang dilaksanakan pada 30 Juli-1 Agustus lalu. Walaupun sebenarnya sudah ada peningkatan dari UKG yang diadakan pada awal 2012 yang berada di angka 42.25, namun  nilai itu masih jauh dibawah standar ketuntasan.

Dari hasil tersebut dapat dilihat betapa masih perlunya guru-guru kita itu mengupgrade diri dan kompetensinya hingga mencapai angka yang ditargetkan. Oleh karena itu, angka itu harus menjadi cermin bersama, sejauh mana guru-guru itu telah berusaha untuk terus meningkatkan agar target-target ketuntasan belajar siswa di angka 65 itu bisa tercapai pula.

Masyarakat Indonesia terus akan mengawasi proses pengajaran dan pembelajaran. Ribuan kritik dan kata-kata pedas yang ditujukan kepada guru terus akan terjadi hingga kapanpun. Angka tersebut sejatinya adalah cermin bahwa guru-guru kita belum optimal dalam bekerja mencerdaskan masyarakat.

Kita juga sering membaca betapa nyantainya guru-guru negeri itu dalam menjalani pekerjaannya. Mereka sering datang terlambat, mengajar sering keluar masuk bahkan kelas ditinggal ngeteh dan ngopi di kantor, kelas kosong tidak terajar. Padahal mereka telah dibayar mahal, terlebih mereka yang sudah lulus sertifikasi. Cerita tentang ulah guru-guru yang "tidak bertanggung jawab" itu juga sering kita temukan di blog-blog atau media sosial lainnya.

Sehingga banyak yang iseng membanding-bandingkan dengan guru swasta yang terkesan lebih serius dan bertanggung jawab dalam menunaikan tugasnya. Penilaian ini tentu dapat kita maklumi bersama, karena assessment itu dapat kita lihat dan peroleh datanya dimana-mana.

Menurut penulis, guru Indonesia harus terus bercermin pada nilai sementara yang telah diperoleh itu. Kita tidak perlu bersikap kontraproduktif pada hal-hal positif, namun lebih memperbanyak introspeksi, sejauh mana peran kita di dalam pembangunan pendidikan di tanah air tercinta ini. Jalani saja berbagai model assessment yang disajikan oleh pemerintah, bila masih buruk ya terus mengasah kompetensi diri saja.

Karena selama ini penolakan-penolakan yang ada hanya mengesankan justru guru-guru kita memang tidak berkompeten, sehingga untuk menghadapi UKG semacam itu sudah kelabakan. Bahkan ada sinyalemen itu hanya ketakutan guru, misalnya guru yang selama ini dianggap profesional justru akan mendapatkan hasil tidak lebih baik dari guru yang ada.

Sehingga kalau memang tidak memiliki kompetensi standar, menurut penulis tunjangan sertifikasi layak dicabut, karena tidak bisa menjamin peningkatan kompetensi guru dan pengajarannya.

Salam Pendidikan


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun