Sumber foto:Â
http://www.photos8.com/view/black_kid_sitting_on_stone-other.html Orang tua yang bijak, akan selalu memberikan nasehat yang benar kepada anaknya. Karena nasehat sebetulnya harapan. Yah, harapan yang selalu akan diukir oleh orang tua untuk anaknya. Dan tak ada orang tua yang akan senang ketika nasehat itu diabaikan dengan alasan apapun. Pun tak ada orang tua yang selalu mendoakan anaknya semoga selalu mengabaikan perintah dan sarannya. Maka kadang orang tua pun berpura-pura emosi, ketika anak tidak memenuhi janjinya bahwa ia akan selalu taat. Tak ada pula orang tua yang menginginkan agar anaknya tidak bersinergi dalam membangun masa depan, sehingga ibaratnya, tak ada orang tua yang berprofesi apapun yang berkonotasi negatif, rela bila anakknya mengikuti karier orang tuanya. Ini artinya, bahwa nasehat orang tua akan selalu memposisikan anak pada kedudukan yang benar. Jangan sampai anak menempatkan diri pada tempat yang salah. Jangan sampai anak duduk tidak benar. Duduk yang benar akan memperkuat posisi duduk sendiri, sehingga tidak akan bergoyang lalu jatuh. Duduk yang benar pun akan membantu menghargai dirinya, bahwa dia memang tahu cara duduknya. Sehingga ketika duduknya tidak nyaman dia pun akan buru-buru untuk mengalihkan posisinya hingga benar. Dengan cara berpikir yang sama, muncullah pertanyaan yang harus menjadi perkerjaan rumah bagi pembaca tulisan ini. Apakah kita sudah berada pada posisi yang sebenarnya? Apakah kita berdiri sesuai dengan kapasitas dan keilmuan yang kita miliki? Sudahkah para pemimpin negeri ini duduk, berdiri, berkata, bersikap, bertingkah secara benar sesuai dengan keumuman yang berlaku. Agar semua itu dapat meminimalkan akibat yang kurang bersahabat atau malah merugikan baik diri maupun khalayak. Ambil contoh, dalam kasus disebuah kantor perusahaan. Urusan kemanusiaan (SDM) yang dipegang oleh yang sebetulnya tidak kompeten dalam bidangnya. Sehingga segala rencana perusahaan terkait dengan bidang itu cenderung carut marut. Bermula dari proses rekrutmen hingga keputusan-keputusan yang mengikat pun jauh dari kaidah-kaidah ke-sumberdayamanusia-an. Kemudian tatacara pengumpulan informasi calon pegawai yang tidak menyasar hingga proses training yang tidak mengacu kepada tata kepentingan perusahaan itu. Kadang justru terjadi upaya membukanmanusiakan manusia. Menganggap orang dewasa laksana kanak-kanak yang harus diarahkan layaknya anak-anak
playgroup, yang serba tidak tahu. gambaran lebih luas adalah ketika bertautan dengan urusan kenegaraan. Bila posisi tertentu (baca jabatan) tidak diberikan pada orang yang sebenarnya. Sebenarnya bukan mengacu ke kedekatan politis dengan tokoh tertentu, tetapi lebih kepada ilmu dan latar belakang kemampuan. Sehingga semua hal yang dilakukannya benar-benar berdasarkan ilmu yang tentunya mendukung pelaksanaan tugas. Apa lagi tugas kenegaraan tidak sesederhana tugas-tugas kerumahtanggaan keluarga. Bila kita semua bersicerdas dalam hal ini, berarti kita telah memposisikan orang itu pada posisi yang sebenarnya. Penghargaan orang itu sejatinya mendudukkan orang pada posisi yang sebenarnya. Bukan memaksa-maksa dengan alasan yang tidak masuk akal. Sehingga keberadaannya benar-benar ada dan diakui oleh khalayak. Dengan demikian terhindar dari kata-kata 'adanya seperti tiadanya'.
KEMBALI KE ARTIKEL