Sepanjang yang penulis ketahui, penggunaan LKS di beberapa sekolah baik di tingkat dasar atau ditingkat menengah saat ini telah menjadi tren. Entahlah permulaan pemakaian LKS itu, inisiatif guru atau mungkin inisiatif pihak sekolah (baca kepala sekolah). Sehingga hampir setiap awal tahun ajaran atau semeter putra-putri kita "diwajibkan" membeli LKS sebagai bahan latihan penunjang siswa.
Tulisan ini ingin menyoroti LKS itu dari beberapa hal berdasarkan pengetahuan dan pengalaman penulis.
Sebagai orang tua, mungkin kita tidak mempedulikan secara detail aturan-aturan sekolah, apalagi yang berhubungan dengan penggunaan LKS itu sendiri. Yang kita tahu, bahwa setiap awal semester/ tahun kita harus membayar ratusan ribu rupiah untuk membayar LKS. LKS itu tentunya belum termasuk sejumlah buku wajib yang harus dibeli di luar buku yang dipinjamkan oleh pihak sekolah. Buku yang dipinjamkan, biasanya diterbitkan oleh pusat perbukuan yang direkomendasikan oleh Diknas. Sehingga siswa tidak perlu membeli buku tersebut dan tinggal mengambil, namun harus dikembalikan ketika semester itu telah selesai, karena akan digunakan untuk kelas-kelas yuniornya.
LKS tentunya berbeda dengan buku pegangan itu sendiri. LKS memang diwajibkan untuk semua siswa, karena diproyeksikan bahwa mereka harus menggunakannya ketika mereka masuk kelas. Dan menurut cerita para siswa yang sempat penulis temui, penggunaan LKS memang melebihi penggunaan buku pegangan itu sendiri.
Sehingga bila ada cerita bahwa buku pegangan itu malah jarang digunakan itu adalah hal wajar. Selain membuat soal itu sulit, mungkin juga guru-guru kita malas membuat soal atau bahkan tidak bisa membuat soal. Sehingga keberadaan LKS sungguh sangat membantu.
Namun demikian bukan berarti LKS itu akan mampu menjawab semua persoalan yang dijelaskan di buku pegangan siswa. LKS itu sendiri adalah misteri, dan harus terus dikritisi oleh kita semua. Tentunya itu semua demi terus berkembangnya dunia pendidikan kita.
Pertama, LKS itu harus dibeli oleh siswa. Siswa tidak akan diberikan LKS jika tidak membayar dengan jumlah tertentu. Ini semua adalah pungutan pertama yang dikenakan kepada siswa-siswa kita. Bukan berarti kita menolak secara frontal, tetapi guru tentunya masih memiliki kewenangan untuk membuat soal-soal yang dapat digunakan sebagai bahan evaluasi kepada siswa. Seharusnya guru bisa lebih berkreasi untuk membuat soal-soal yang lebih menyasar.
Kedua, LKS itu dibuat oleh pihak ketiga. Pihak ketiga itu biasanya adalah pihak swasta yang ingin mengeruk keuntungan dari penggunaan LKS itu sendiri. Kalau saja LKS itu disediakan oleh pihak sekolah yang memang direkomendasikan oleh Diknas, mungkin itu tidak mengapa. Sehingga dengan demikian hingga saat ini memang penulis belum menemukan aturan tertentu tentang penggunaan LKS. Kita pun tak pernah tahu, apak penulis-penulis itu menulis memang untuk mengevaluasi siswa atau memang hanya sekedar cari duit.
Ketiga, LKS sering menyajikan soal-soal yang salah, entah salah ketik atau mungkin sering menggunakan kata-kata yang tidak relevan dengan mata ajar atau bahkan kontraproduktif dengan karakter-karakter yang harus tetap dibangun pada diri siswa itu. Hal ini banyak ditemukan misalnya, banyak contoh-contoh soal yang berorientasi kepada negative character. Sehingga siswa lebih dekat dengan term-term kata yang bernilai negatif. Misalnya saja, pendek, bodoh, bego, jahat, dan lain sebagainya.
Mungkin analisa ini keliru, tetapi besar juga kemungkinan kata-kata buruk yang sering digunakan siswa dalam berkomentar tentang suatu hal dan temannya terbentuk secara otomatis dari kosa kata yang tidak berimbang yang digunakan dalam buku.
Keempat, keberadaan LKS di satu sisi memang membantu guru dalam menyajikan latihan ke siswa, namun di sisi lain justru akan mereduksi fungsi guru. Sehingga guru akan cenderung malas membuat soal karena menggantungkan pada keberadaan LKS itu sendiri.
Kelima, sekolah tentunya akan menjadi ladang bisnis oleh pihak ketiga. Secara tidak langsung akan terjadi kongkalingkong, menuai benih-benih korupsi di dunia pendidikan karena bagi penerbit yang bisa memberi fee lebih banyak pasti akan laku dagangannya. Setuju atau tidak pemilihan atas dasar sajian kue empuk itu akan mengabaikan kualitas konten LKSnya. Kalaupun sekolah harus mennggunakan buku latihan soal, memang idealnya buku paket itu menyediakan soal-soal yang menunjang plus dibantu oleh soal-soal yang dibuat oleh guru.
Keenam, LKS sering disediakan kunci jawaban. Dan kita tahu bahwa guru cenderung mengandalkan kunci jawaban itu dalam mengoreksi hasil kerja siswa. Di sini sering mencul komplain dari siswa atau orang tua. Menurut orang tua dan siswa kerjanya sudah betul tetapi disalahkan oleh guru. Sehingga guru lebih menghargai kunci jawaban daripada kerja lelah siswa.
Ketujuh, LKS dan buku ajar, mana yang seharusnya dipilih. Tidak sedikit dengan keberadaan LKS guru lebih suka menggunakannya ketimbang menggunakan buku ajar. Siswa cukup diberikan LKS dan sibuk mengerjakan soal sendiri.
Semoga menjadi bahan renungan kita, masihkah LKS itu membantu sistem pembelajaran di sekolah padahal sudah ada buku ajar, yang didalamnya sudah disediakan banyak soal. Atau buku ajarlah yang memang sudah tidak layak untuk digunakan sehingga harus diganti dengan LKS.
Wallahu a'lam