Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

(Berhentilah) Membangun Premanisme di Sekolah

20 September 2011   04:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:48 219 0
Dunia pendidikan di negeri ini kembali dilukai oleh ulah para oknum siswanya. Kejadian terakhir yang sekarang menjadi hangat adalah pengeroyokan para wartawan di sekitar SMA 6 Mahakam Jakarta Selatan. Kejadian itu sungguh sangat menyedihkan, karena dilihat dari aspek apapun tindakan para oknum siswa "preman" itu telah menyebabkan luka-luka yang mendalam, tentu tidak hanya buat para korban, baik siswa sendiri atau wartawan yang terlibat, tetapi juga orang tua, guru, sekolah, dinas setempat atau bahkan pada skop yang lebih luas, kementrian pendidikan dan pemerintah. Bagaimana tidak, sekolah yang nota bene sebagai kawah candradimuka malah menjadi kawah yang merubah perilaku siswa laiknya sifat-sifat dasamuka, yang garang, jahat, bengal, tidak cerdas dan menjauh dari karakter-karakter yang saat ini sedang didengung-dengungkan oleh para penggiat pendidikan. Peristiwa yang telah melukai beberapa wartawan, seperti dilansir oleh beberapa media nasional hari ini (20 September 2011), misalnya Banar Fil Ardhi, wartawan Kompas,  Yudistiro Pranoto (fotografer Seputar Indonesia), Panca Syurkani (fotografer Media Indonesia), Septiawan (fotografer Sinar Harapan), Doni (Trans TV), sudah selayaknya menjadi perhatian bagi pemerintah untuk penegakan kedisiplinan bagi seluruh siswa di seluruh Indonesia. Mungkin pemerintah harus juga memberi garis bawah bagi sekolah-sekolah yang berpotensi rusuh seperti itu. Hingga tulisan ini dibuat, belum ada informasi tentang pelibatan guru dalam penyelesaian masalah. Tentunya peran sekolah dalam mengambil pendekatan yang sesuai dengan latar belakang mayoritas siswa sangat penting. Kultur masyarakat kota pasti berbeda dengan masyarakat nun jauh dari kota. Oleh karena itu pihak sekolah harus terus mengenali kultur-kultur keluarga siswa sebagai upaya untuk mencari pendekatan kepada siswa. Selain itu, kejadian demi kejadian terus menghiasi halaman hitam dunia pendidikan, terkait dengan tawuran siswa. Bisa diperkirakan pula bahwa kebiasaan buruk ini bisa berlanjut di dunia perkuliahan ketika terjadi perbedaan pendapat. Dan mungkin, mungkin, sampai ke ranah politik, ketika mereka bermusyawarah tetapi tidak menemukan jalan terbaik, akhirnya tawuran adalah solusi terbaik. Hal ini tentunya menjadi kesedihan kita bersama, tidak hanya mereka yang terlibat langsung dengan dunia pendidikan, tetapi yang lebih penting adalah orang tua. Sudah selayaknya orang tua membangun dunia malu, ketika anak kesayangannya terlibat dalam dunia yang kontraproduktif dengan kegiatan persekolahan. Oleh karena itu, orientasi sekolah yang begitu giat mengorientasikan output pendidikan pada nilai semata harus segera dikoreksi. Dan apabila dirunut, kegiatan-kegiatan kontraproduktif seperti itu harus menjadi bahan kajian para karyawan rakyat (aparatur pemerintah) yang bersikukuh bahwa UN (Ujian Nasional) adalah alat evaluasi yang terbaik. Pemerintah, oleh karenanya, seharusnya malu melihat orang hanya pada kualitas intelektual siswa, hanya melihat dari nilai sekolah, yang hanya diambil ketika menghadapi UN. Banyak aspek yang harus diperhatikan, termasuk yang paling penting adalah implementasi keilmuan siswa yang diperoleh di sekolah dalam keseharian. Penulis yakin, bahwa para siswa yang terlibat tawuran itu secara intelektual memang baik. Apabila tidak baik mereka tidak akan diterima di sekolah negeri seperti SMA 6, di Jakarta, lagi. Namun, masih banyak yang harus disentuh dengan pendidikan karakter oleh gurunya. Juga mungkin budaya atau kultur di sekolah tersebut harus terus dibangun dan diperbaiki, agar para siswa yang belajar di sana tidak hanya cerdas secara intelektual, namun juga cerdas secara emosional. Siswa, guru, orang tua, kepala sekolah, komite sekolah, Diknas setempat harus bertanggung jawab sepenuhnya dalam hal kejadian kemarin. Mereka tidak bisa cuci tangan menghadapi kasus ini. Upaya Polisi yang akan memberikan sangsi hukum bagi oknum pelajar atau orang-orang yang terlibat harus segera dilaksanakan. Agar hal serupa tidak akan terulang lagi, dengan demikian premanisme sekolah dapat dihentikan. Jakarta, 20 September 2011 Sumber gambar: di SINI

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun