Dulu saya selalu menolak kasih polisi cepek karena trauma dengan kejadian dirampok saat ada dalam antrian lampu merah di perapatan UKI. Kebanyakan akan mengumpat marah sehingga akhirnya saya putuskan sedia koin recehan gopek (lima ratus rupiah) atau seceng (seribu rupiah), kadang uang kertas 2 ribuan rupiah jika kehabisan uang koin. Dan kini saya niatkan sebagai infak atau sedekah supaya menjadi amalan bagi saya ketimbang memberi karena terpaksa.
Lambat laun, karena rutin setiap melintas persimpangan selalu kasih polisi cepek, akhirnya saya mulai dikenal mereka dengan baik. Kini, setiap polisi cepek itu melihat mobil saya, mereka akan serta merta mendahulukan saya ketimbang kendaraan lain. Kini saya merasa ada unsur penyuapan dalam situasi itu karena niat awal saya hanya untuk bersedekah dan tertib saja dalam antrian. Namun, para polisi cepek yang kini menjadi sangat respect terhadap saya selalu melanggar ketertiban dengan mendahulukan saya ketimbang menjaga ketertiban.
Dari konteks produktivitas, apa yang saya lakukan itu adalah peningkatan kapabilitas proses melalui peningkatan aset sosial saya sehingga memberikan nilai balik kepada saya dalam bentuk bantuan dan kemudahan sehingga memperpendek lost time dalam bentuk waktu antrian. Saya juga berkeyakinan, budaya patron-klien yang tumbuh subur dikalangan pengusaha dan aparat pemerintah didasarkan pada pertimbangan sederhana ini yang kemudian secara sistematis menjadi mapan menjadi budaya.
Kembali pada situasi saya, apa yang mesti saya lakukan untuk menghindari situasi negatif ini? Apakah saya harus kembali ke keadaan awal saya dulu, tidak kasih polisi cepek dan mendapat kesulitan dari mulai dimaki hingga dibaret? Tentu saya tidak mau. Menyuap juga bukan hal yang suka hati saya lakukan. Jadi, tetap memberi dengan niat bersedekah dan berupaya tertib dalam antrian yang mungkin sulit menjadi pilihan yang paling masuk akal bagi saya saat ini.