Oleh karenanya, melalui kajian dan pertimbangan yang menyeluruh itu, diharapkan muncul suatu kebijaksanaan Ulama bagi upaya kemaslahatan bersama. Dalam menilai sebuah masalah, perbedaan pendapat --atau fatwa tadi, dianggap sesuatu yang alamiah. Pendapat para Ulama itu, juga tidak perlu ada proses penyeragaman --terlebih semacam konsensus. Hingga, fatwa yang muncul pun bukan lagi tunggal, tapi beragam.
Kita tahu, beberapa hari terakhir, media dihebohkan oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebut saja, misalnya, fatwa soal kopi luwak, rokok, infotainment, pluralisme, nikah wisata dan lain sebagainya. Masih banyak lagi, fatwa-fatwa lain MUI yang --maaf, tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Kehebohan ini --setelah saya perhatikan, menggejala akibat; bagaimana publik mengkompromikan deretan fatwa tadi dengan hukum positif kita. Terlebih, bagi dunia usaha --khususnya para pegiat infotainment, mereka juga butuh adanya kepastian hukum.
Saya pribadi, sebagai orang awam, tak begitu risau dengan gelontoran fatwa MUI tersebut. Sebab, sebuah fatwa --siapapun yang menyampaikan, sifatnya tidak mengikat. Ia boleh diikuti ataupun tidak. Fatwa MUI tadi, tidak memiliki watak ekskutif yang memaksa. Ia tak lebih bersifat normatif belaka. Yang terpenting, di sini, bagaimana mengkodifikasikan hukum positif kita dengan fatwa-fatwa itu, pada capaian penyempurnaan legislasi kita.
Yang merisaukan saya, jusru jika fatwa MUI tadi dipahami sebagai sesuatu yang final, bahkan mengikat sifatnya. Saya berharap, semakin banyak fatwa --entah itu dari ormas Islam lain, misalnya, akan menjadikan kesadaran tingkat keberagamaan masyarakat kita semakin dewasa. Sekaligus, aneka ragam fatwa ini akan memberi pendidikan bagi masyarakat luas --bagaimana aplikasi agama dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Sebuah pertanyaan, mungkin penting dikemukakan di sini; apakah memang MUI yang paling berhak mengeluarkan fatwa --diantara Ulama atau Ormas Islam lain? Atau, sudahkah MUI bisa dikatakan representasi Ulama Indonesia, hingga seolah 'hak cipta' fatwa hanya boleh keluar dari tangannya?
Pertanyaan di atas, mungkin akan dianggap sangat berlebihan. Saya bermaksud bukan ingin men-delegitimasi keberadaan MUI sebagai institusi. Saya hanya berharap, munculnya fatwa-fatwa Ulama atau kelompok Ulama lain, atas tinjauan berbagai masalah di atas. Hingga, kesan adanya monopoli maupun supremasi lembaga fatwa tidak lagi terjadi. Ini penting saya kemukakan, sebab bukankah perbedaan pandangan/pendapat itu juga bagian dari rahmat?
Di samping itu, kita patut khawatir jika nasib hukum positif kita --akhirnya, harus 'tunduk' pada sebuah fatwa MUI. Artinya, aparat penegak hukum kita akan bertindak atas dasar fatwa, bukan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ini sangat berbahaya, terutama bagi masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Bukankah, negara kita ini bukan negara agama?
Suatu contoh kecil, misalnya soal Ahmadiyah. Kelompok agama ini, telah divonis MUI sebagai kelompok aliran sesat. Mereka dinilai memiliki pandangan aqidah Islam yang berbeda, karenanya dianggap menyimpang dan meresahkan masyarakat. Sekali lagi, sebagai sebuah fatwa, MUI punya hak menyatakan pendapat semacam itu.
Tapi, masalahnya akan jadi lain, jika fatwa MUI itu justru akhirnya dijadikan alat legitimasi bagi kelompok masyarakat --atau, bahkan aparat negara sendiri untuk 'menumpas' keberadaan Ahmadiyah. Bukankah fatwa MUI sendiri malah memperkeruh keresahan masyarakat? Di sini, dua hal penting yang harus ditegaskan; antara urusan agama dan negara. Dua hal ini, harus diberikan ruang dan garis batasnya yang jelas --utamanya dalam lingkup masyarakat kita yang memang pluralistik ini.
Di satu sisi, Negara harus memberikan jaminan pada setiap warga negaranya untuk menjalankan ibadah --sesuai dengan agama dan keyakinannya. Di sisi lain, MUI sendiri sudah seharusnya menjadi pilar utama dalam hal dialog dengan kelompok-kelompok agama --yang, bahkan mereka anggap sesat sekalipun. MUI jangan malah bersikap angkuh --seolah mewakili otoritas Tuhan --yang, karena-Nya dan atas nama-Nya, Ahmadiyah maupun kelompok-kelompok lain dinilai sesat. Bukankah kita hanya bisa menilai seorang individu maupun kelompok dari sisi lahiriyah saja, bukan sisi bathiniyah mereka?
Soal keyakinan maupun sisi bathiniyah seseorang bukanlah urusan manusia lain, melainkan urusan Tuhan sendiri. Saya sendiri menyayangkan --dalam kasus Ahmadiyah, sikap MUI yang telah berani menilai kadar aqidah mereka. Jika saja, ketika itu, MUI bersikap sebatas menyampaikan dakwah kebenaran, itu yang lebih baik. Bukan seperti sekarang ini, yang justru malah memvonis sesat. Ironisnya, sikap pemerintahan SBY sendiri juga --seperti tak paham masalah dan harus berbuat apa, terkesan membiarkan sebagian warga negaranya yang harus terancam kehilangan haknya.
Terakhir, sebagai masyarakat biasa, kita hanya berharap sikap arif dan bijaksana terharap para tokoh ulama, terutama ketika mengumandangkan fatwa tadi, bahwa persoalan masyarakat --khususnya, bangsa dan negara kita --umumnya, tidaklah sesederhana seperti yang kita asumsikan. Apakah memang, hanya ada tersisa sebuah pendapat hukum (fatwa) hitam ataupun putih (halal atau haram) saja, dalam melihat dunia ini? Semoga saja tidak..!!!
Jakarta, 29/07/10