Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Sebastian Diaz Morales, Macet, dan Jakarta

4 November 2013   16:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:36 88 0

Ingatkah Anda pada adegan pembuka dalam film karya Jean-Luc Godard berjudul Weekend? Kamera bergerak mundur memperlihatkan adegan kemacetan, dan merekam absurditas serta “kesusahan” di situasi itu. Terjadi kemacetan yang memanjang tanpa henti dan janggal, dan yang merupakan silang-sengkarut dari beberapa peristiwa. Momen sinematografis ini memungkinkan seseorang untuk merengkuh sebuah pemahaman atas sebuah realitas akan kemacetan yang mempenetrasi kita. Film ini membuat kita tersadar akan cara-cara yang mana terdapat di dalamnya berbagai macam aspek akan kemacetan mendiami diri kita, dan menentukan respon emosional serta rasional atas fenomena tersebut jauh setelah kemacetan itu terurai.

Seseorang dapat berargumen bahwa salah satu cara kemacetan mempengaruhi kita menentukan durasi atau dureé, yang artinya cara akumulasi untuk memahami waktu. Cara akumulasi ini menghasilkan rasa akan waktu sebagai sebuah pengulangan, absurditas, kebosanan dan kemonotonan. Ketakberdayaan akan kemacetan tidak hanya mempengaruhi alam bawah sadar seseorang, melainkan juga bermain-main dengan waktu. Pengulangan tanpa akhir atas pengalaman akan kemacetan dalam hidup seseorang membutuhkan vitalisme yang kuat, yang memberi kehidupan pada cara-cara di mana kontemplasi dan representasi kemacetan mungkin bahkan mengubah kenyataan.

Fenomena kemacetan dapat dibawa keluar dari konteks dan diberikan sebuah kehidupan serta arti yang baru. Itu dimungkinkan karena perubahan tadilah yang menjadi garis penghubung antara materialisme imanen (Deleuze & Guattari) dengan seni. Hubungan dengan karya seni ini juga berkorespondensi dengan Spinozisme (lih. mis. Gatens 1996), dalam representasi atas pengaruh kemacetan yang belum terungkap pada penikmat maupun pelaku seni.

Sineas kelahiran Argentina Sebastian Diaz Morales datang kembali ke Jakarta dan kali ini ia berpartisipasi pada salah satu acara seni terbesar di kawasan Asia Pasifik, Jakarta Biennale 2013 (JB 2013). Bagi Sebastian, ia selalu siap datang kembali ke Jakarta. Seperti datang ke tempat yang tak terduga sekaligus sudah dikenal.

Menurutnya semua hal di sini terlalu terbuka, terlalu jenuh, bunyi, bau, dan citra. Ia merasa ditantang untuk melihat sejauh mana ia masih dapat bertahan. Ia pertama kali mendarat di Jakarta pada 2001 dalam rangka memenuhi undangan untuk berpartisipasi pada sebuah proyek garapan ruangrupa. Saat itu adalah tahap-tahap awal kelompok seni tersebut.

Alasannya untuk senantiasa kembali ke Jakarta adalah agar terlibat dengan pengalaman itu lagi dan lagi. Baginya, hal ini merupakan sebuah tantangan. Bagi dia Jakarta adalah rimba di mana dia dapat menjelajah dengan indra-indra yang sadar seluruhnya dan dari keadaan yang tidak terlalu nyaman.

Ia memandang karya-karyanya bak “perumusan ulang pengantar J.G. Ballard dalam novelnya Crash”. Ia bertanya pada diri sendiri: Seberapa besar fiksi menembus kenyataan kita sehari-hari? Apakah kita hidup di dalam sebuah novel raksasa? Dan jika fiksi sudah ada di situ, perlukah si penulis menciptakan isi rekaan novel? Kalau begitu, bukankah tugas si penulis adalah untuk menciptakan kenyataan? Pada dasarnya jawaban atas pertanyaan ini adalah apa yang ia jelajahi dalam karya-karyanya.

Ketika ditanya tentang proyek yang sedang ia kerjakan untuk JB 2013, seniman berusia 38 tahun ini memilih untuk membiarkannya menjadi sebuah kejutan. Ia sedang berkutat dengan gagasan membuat film dengan menggunakan kemacetan sebagai motif utama karya tersebut. Titik awal gagasan ini adalah membuat sebuah kartu pos Jakarta masa kini. Dia akan tinggal di kota ini selama 10 hari, tersesat di tengah-tengah kemacetan. Oscar Dekemanos membantu Sebastian memilih skenario kota dan akan menjadi pemain utama film ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun