"Hahaha. Negara kok jadi kayak pabrik, ya pak?"
"Kenapa bisa gitu, nak?"
"Iya iyalah pak. Pak Presiden kayak HRD yang sedang mencari karyawan untuk bekerja di perusahaannya. Pak Presiden memanggil orang-orang untuk berkunjung ke istana. Orang-orang itu memakai kemeja putih lagi. Bukankah itu kayak pabrik, pak?"
"Owalah nak, itu kan cara Pak Presiden. Biarkan dia menggunakan caranya sendiri. Lagipula, bukankah putih itu suci, nak?"
"Iya pak. Putih itu selalu diidentikan dengan kesucian. Tapi, bukankah putih juga sering diidentikan dengan menyerah, kematian, dan juga kepolosan?"
"Itu sih, nak, bagaimana sudut pandang kita saja. Toh, bendera negara kita juga memakai warna putih? Sudahlah nak, biarkan."
"Iya pak. Tapi, tetap saja, jika seperti itu, negara kita kayak pabrik. Biasanya, untuk bisa masuk ke salah satu pabrik, kita dikenalkan dengan istilah 'orang dalam'. Jika kita punya 'orang dalam', dengan mudahnya kita bisa bekerja di pabrik tersebut. Orang-orang yang mempunyai kemampuan lebih, jadi tersingkirkan oleh 'orang dalam'."
"Owalah nak. Kau kan lihat sendiri di televisi. Pak Presiden memanggil orang-orang hebat. Orang-orang yang sudah diketahui mempunyai kemampuan yang tinggi."
"Iya pak. Aku lihat itu. Tapi, mungkin, orang-orang hebat itu baru sebagiannya saja. Sebagian besarnya lagi, mungkin orang-orang yang dekat dengan Pak Presiden. Itu kan seperti cara 'orang dalam', pak."
"Yah, semoga yang 'sebagian besar' itu tidak seperti yang kau pikirkan, nak."
Muni terdiam. Malik masih terus menikmati hisapan rokoknya pada hari sudah yang malam. Teras rumah seperti sedang menunjukan pertunjukan yang sepi. Udara malam yang ditemani dengan nyamuk yang menghisap darah, kian mengudara menghiasi musim yang kemarau.
Purwakarta