15 Juli 2019.
Liburan semesterku telah habis. Saatnya kegoblogan dan ketolon dimulai kembali. Walaupun aku merasa muak dengan rutinitas tak mendidik macam itu. Tapi tak apa, hidup harus terus dijalani. Toh, banyak orang mengatakan kalau kehidupan itu bagaikan roda. Aku yakin ada saatnya aku berada di posisi yang baik.
Seperti yang lalu-lalu. Sekolah adalah tempat paling cocok untuk menyalurkan kebebalan. Bagiku, sekolah bukan hanya soal bangku dan meja. Juga bukan soal guru dan murid. Bukan juga soal makan bangkunya atau tidak. Tapi soal menjadi manusia sejati.
Aku sangat tidak suka dengan sekolah yang menjadikan muridnya bak domba gembala. Harus menuruti penggembala. Jika domba melenceng sedikit, disuruh anjingnya untuk menggonggong. Akhirnya menggigit. Sangat tak manusiawi!
Tibalah waktu untuk berangkat ke sekolah. Pagi-pagi buta aku bangun untuk bersiap pergi ke sekolah. Dan tidak seperti biasanya, kini sungguh berat untuk meninggalkan kasur. Betapa tidak, satu bulan full aku libur sekolah. Kalian tahu bagaimana rasanya liburan, kan? Sangat enak untuk bertapa. Bukan bertapa ala orang-orang daholoe itu, yak. Tapi bertapa ala anak jaman now, yaitu 'Tapa Ning Turu' alias tidur.
Benar-benar hari yang tak sama dengan yang lalu-lalu. Kinipun harus bangun lebih awal, dan seperti biasanya aku glantang-gluntung dulu di kasur seperti dadar gulung.
Akhirnya aku berangkat ke sekolah pada pukul enam seperempat.
Temanku sudah menunggu di depan rumah. Dia bernama Himil. Dia berkata, "Mbrim menyat mbrim tangi, sageh mangkat sekolah aja turu bae, nko tak ganjur anggo banyu paceran nggawen!"
"Lambene lah, Lik. mandan diatur, rung tau dibabad anggo clurit apah?"
Akhirnya, aku pun keluar sambil membawa sepeda ontlongku. Sepeda yang sering disebut juga sebagai sepeda unta.
Aku tiba-tiba teringat dengan ucapan orang bahwa kehidupan ibarat roda, "Wah, aku akan benar-benar memutar roda kehidupan, nih," bisikku dalam hati.
Aku mengayuh sepadaku dengan perlahan sambil berbincang-bincang dengan Himil. Tak terasa Simpang Lima telah kami lewati. Dan kini kami mendekati jalur rel kereta api. Palang pintu pun menutup karena kereta api hendak lewat.
Himil sedikit marah gara-gara ini. Ia berkata pelan, "Dancuk! mbarang wis edek gari sepure liwat."
"Trobos bae, Him. men dewek aja telat," aku ikut menambahi.
"Ya ayuh trobos bae lah," jawab Himil.
Himil yang suka bertingkah aneh tiba-tiba menjerit kepada Pak Palang Pintu, "Heeeey!"
Ternyata Pak Palang Pintu menyahut, "Ana apa, Cuk!"
Sejurus kemudian Himil menyahut, "Hey tayo hey tayo."
Aku jadi senyum-senyum sendiri melihat tingkah mengejutkan Himil ini. Sebab Himil tiba-tiba mengalihkan pandangan pada bus kecil di sampingnya.
Pak palang pintu pun merasa malu. Dalam hati berkata, "A*ji*g g*b*ok! Awas kapanane bocah kae liwat maning tek palang nang enyong. Tak sengi ngopi karo ngudud bareng nggawen, Ben nko wengi-wengian bisa go batir jaga palang!"
Akhirnya, tak lama berselang, kereta api pun melintas dan terdengar suara tuuuuuuuuuuut pruputprut.
"Ehhhh apa kue sing moni," ucapku
"Entutku bro," Himil terkekeh.
"Anjir ujarku sepur sing moni jebul jebule silit mu Him sing moni, mambu maning entute."
Himil menjawab enteng, "Lambene lah."
"Wis lah aja kandah bae kae sepure ws keton."
"Okokok."
Kereta api pun lewat.
Setelah kereta menghilang, palang pintu terbuka dengan perlahan. Aku dan Himil pun mengayuh sepeda kembali.
Sampailah kita di Pasar Koplak. Pasar Koplak berada di Kota Kebumen. Pasar Koplak berada di sebelah Pasar Tumenggungan Kebumen. Dulu, Pasar Koplak terkenal dengan sebutan Koplak Dokar sebab banyak dokar (kereta kuda) yang mangkal. Bahkan saking terkenalnya Koplak Dokar, orang-orang yang secara geografis jauh dari tempat mangkal itupun kenal. Salah satunya adalah dengan Mbahku yang kini sudah sangat berumur. Mbahku sangat paham dengan kondisi Koplak Dokar.
Namun, sayangnya romantisisme itu kini telah sirna. Koplak Dokar beralih fungsi menjadi Pasar Lowak yang dikenal dengan Pasar Koplak.
Di pasar ini juga kami memutuskan untuk memarkirkan sepeda. Tidak disangka, di pasar ini juga, kita melihat barisan-barisan sepeda ontlong yang lumayan banyak dan terlihat sangat melong-melong.
Sungguh membuat mata terbelalak memandang keindahan semacam ini. Memang pasar ini adalah Pasar Lowak, tapi serba ada, kok! Tidak hanya sepeda semacam ontlong itu, ada juga sepeda anak, mini dan ada juga bibit pohon serta handphone bekas. Lengkap, deh!
Aku dan Himil kemudian memutuskan untuk berjalan kaki dari Pasar Koplak menuju sekolah. Sayang, aku juga harus berpisah dengan Himil karena dia kelas dua belas, sementara aku kelas sebelas. Kita pun berpisah.
Aku masuk kelas dan melihat teman-temanku sudah duduk di bangkunya masing-masing. Aku kemudian bersalam-salaman dengan temanku.
Baru beberapa teman yang aku salami bel tanda masuk berbunyi. Tak butuh waktu lama, Pak Guru pun datang dan mengucapkan, "Assalamualaikum!"
Kami menjawab, "Waalaikumussalam. Ada apa pak?"
"Yaa Pak Guru ke sini mau memberitahukan kepada murid kelas XI TKRO E bahwa satu minggu yang akan datang, kita libur!"
"Weeeeeeee libur..." seketika kelas ramai-ramai bersorak.
"Apa iya pak libur emang ada acara apa pak?" aku mencoba memburu.
"Tapi bo'ong hhhhhhh," ucap Pak Guru sambil tertawa-tawa.
"Anjir! dewek dilemboni bro, antemi bae apa yuh gurune," ucapku.
"Yuhh antemi gurune!" yang lain setuju.
"Serbuuuuuu!!" ucap kami bersama-sama.
Pak Guru pun menjawab dengan gemetar, "Eh jangan gitu."
"Serbu!"
"Ayo serbu!"
"Serbu! kita ke kantin," ucap kami bersama-sama.
Akhirnya kami pergi ke luar rungan. Di dalam ruangan hanya ada Pak Guru dan bangku-bangku kosong. Ternyata Pak Guru berhasil kami bohongi.
Sementara dalam hatiku sangat yakin jika Pak Guru akan paham dengan sikap kami. Pak Guru tetap orang yang kami hormati. Pak Guru tetap menjadi sosok panutan. Sosok yang perlu di-'sami'na wa ato'na-i oleh kami semua.
"Tapi ini kan baru hari pertama masuk sekolah. Wong bulan madu saja ada waktu istirahatnya, karena haid. Lah, karena sekolah juga mau bulan madu dalam beberapa waktu ke depan (efektif sekolah), jadi kami perlu haid (istirahat) dulu, dong!" bisikku dalam hati.
Pak Guru berkata dalam hati dengan nada kesal, "Anjay! Enyong dilemboni nang muridku kapanane bae tek nei nilai 100 kabeh."
*Penulis adalah siswa dari SMK Ma'arif 1 Kebumen. Selain aktif di kelas, penulis juga aktif berdiskusi dengan anak-anak (bocah) Musholla Raudhatut Thalab Desa Trikarso. Forum diskusi kecil-kecilan itu diinisiasi oleh Khasbi--Mahasiswa IAINU Kebumen sekaligus kader PMII dan juga penggagas Institut Literasi Indonesia (ILI).