Sapi itu, akhirnya, kelihatan pasrah. Diiringi lantunan suara takbir, petugas pemotong hewan kurban itu melaksanakan tugasnya dengan baik. Hanya gelepar kecil saja yang terlihat pada tubuh hewan kurban itu. Setelah itu, diam. Itu adalah untuk pertama kali, saya secara langsung menyaksikan ritual pemotongan hewan kurban. Tempatnya di halaman belakang kantor kami. Ya sebelumnya saya senantiasa menghindar untuk tidak menyaksikan secara langsung bagaimana ritual itu dilaksanakan. Terus terang, saya tidak tahan melihatnya. Tadi pagi, saya menyaksikan dari jarak dekat bagaimana pemotongan hewan kurban itu dilaksanakan. Bagaimanapun, saya masih merasakan getaran dalam hati saya. Disertai juga dengan rasa ngeri. Tiba tiba saja, sayapun membayangkan apa yang terjadi zaman dahulu kala. Ketika Nabi Ibrahim AS, harus melaksanakan perintah Tuhannya itu. Menyembelih anak kesayangannya Ismail. Saya bayangkan bagaimana Sang Bapak itu meletakkan anak kesa yangannya itu di pangkuannya. Lantas. Ia pun memegang pisau dengan tangannya. Dan apa yang terjadi ? Ismail, sang anak dengan tenang merebahkan dirinya. Tidak ada sedikitpun rasa gentar menghadapi kematian. Tidak ada rasa takut melihat pisau berkilau di tangan ayahnya yang bakal dihujamkan ke lehernya. Suatu drama terbesar dalam sejarah manusia ?. Melakukan tindakan pengurbanan yang dikehendaki Tuhan mereka, dengan tulus. Manusia mana, yang mau dan bisa melakukan hal itu dengan kesadaran penuh atas nama kecintaan kepada Sang Pencipta ? Keimanan dan dialog Bapak dan Anak, yang luar biasa itu diabadikan dalam Al Quran. Ketegaran dan integritas keimanan Ismail itu dapat senantiasa terbaca dalam ayat indah “Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah, bagaimana menurut pendapatmu!" Ismailpun menjawab " Hai Ayahandaku, kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar". Maka, karena sudah memahami betapa sangat luar biasa besar keimanan Bapak dan Anak itu, Allah pun segera mengganti Ismail dengan seekor khibas. Lantas apakah kita sudah senantiasa menauladani perilaku luhur Sang Bapak dan Sang Anak itu, setiap kali kita melaksanakan ibadah kurban ? Bagaimana jika kita diminta melakukan seperti yang dilakukan Nabi Allah Ibrahim itu. Okelah janganpun demikian. Pernahkah kita membayangkan bagaimana melepas anak kita untuk pergi melaksanakan tugas mulia yang dapat menyebabkan kematiannya ? Jangankan itu, melarang anak kita untuk tidak berbuat burukpun, jangan jangan - atas nama kasih sayang - kita tidak mampu melarangnya. Dalam hal komunikasipun kita mesti mencontoh apa yang dilakukan Ibrahim. Dengan alasan keimanannya, ia masih saja menanya sikap dan kesediaan anaknya untuk dikorbankan. Karena itu, berkaca pada diri sendiri, perkenankanlah saya  menutup catatan sangat singkat di kompasiana ini dengan sebuah doa, seperti ini :
" Ya Allah, dengan kerendahan diri kami, kami bermohon kepadaMu di hariMu yang fitri ini. Karuniakanlah kepada kami petunjuk agar dapat menjadi orang tua yang baik dan menauladani keimanan serta ketakwaan Nabi Ibrahim. Bimbinglah kami agar dapat menjadi umat yang mempunyai kualitas kebapakan seperti Nabi Ibrahim. Karuniakanlah kepada kami anak anak dan generasi muda bangsa yang mampu menauladani integritas moral Nabi Ismail A.S. Kaum perempuan dan Ibu Ibu yang bertakwa, tabah dan gigih serta mampu mendidik anak anak kami, sebagaimana Siti Hajar.  Bimbinglah kami agar senantiasa menjadi manusia, keluarga dan warga bangsa yang selamat serta memperoleh kebaikan baik di dunia maupun akhirat " Salam mkabulbudiono
KEMBALI KE ARTIKEL