Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Catatan Hari Pers Nasional

9 Februari 2010   01:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:01 488 0

Sudahkah Pers Nasional melaksanakan perannya dengan benar ? Apa manfaat yang diperoleh masyarakat dari berbagai produk berita yang diterbitkan dan disiarkannya ? Mengapa pula masih ada pejabat yang menilai pemberitaan media massa kebablasan ? Dan mengapa pula masih ada keluhan dan pengaduan dari masyarakat

Memperingati Hari Pers Nasional, tentu bukanlah sekedar upacara apalagi hura hura. Suatu acara peringatan hari kelahiran adalah saat untuk melakukan permenungan dan kajian mengenai sejauh mana kehidupan sudah dijalankan. Mengapa dalam prakteknya masih ada keluhan dari masyarakat terhadap pemberitaan media massa. Baik dari pejabat negara, maupun masyarakat. Pada tahun 2006 misalnya, sedikitnya ada 207 surat pengaduan atas pemberitaan yang disampaikan masyarakat. Sementara pejabat negara khususnya pemerintah, dalam berbagai wacana mengkritik beberapa pemberitaan yang dinilai kebablasan.

Pers Nasional kini sudah menikmati kebebasannya. Undang Undang Pokok Pers menjamin tidak ada pembreidelan atau penutupan perusahaan pers. Tidak ada lagi SIUPP untuk penerbitan pers. Pers sebagai industri telah tumbuh dengan pesart. Hingga akhir tahbun 2005, terdapat 829 penerbitan pers di Indonesia. Dari jumlah tersebut 245 adalah surat kabar harian, mingguan dan tabloid sebanyak 329. Jumlah itu meningkat pesat dibanding tahun 1997 yaitu 289 penerbitan, 79 di antaranya adalah surat kabar harian.

Pers Nasional sudah memasuki era pers bebas. Insan pers dapat mempraktekan tugas jurnalistiknya dengan leluasa. Selain dilingungi keberadaan dan pelaksanaan tugasnya oleh Undang Undang Pers, seorang wartawan sebuah perusahaan atau lembaga pers juga didukung oleh Undang Undang Informasi publik. Tetapi, dalam kebebasannya itu suatu pertanyaan mesti terjawab. Yaitu bagaimana sesungguhnya peran pers nasional dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Pasal 6 Undang Undang Pers mengamanatkan 5 peran yang harus dimainkan oleh pers nasional kita. Dua diantaranya adalah; memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, dan mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar. Guna memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui itu, pers nasional dijamin independensinya. Pers Nasional harus bisa melepaskan diri dari pengaruh apalagi tekanan penguasa, maupun pemodal. Pemerintah tidak boleh mencampuri urusan redaksional media massa. Pun pemodal dan kekuatan pasar. Ini tidak hanya berlaku untuk media cetak, tetapi juga untuk media elektronik. RRI dan TVRI yang selama masa Orde Baru menjalani kiprah sebagai radio dan televisi pemerintah, oleh Undang Undang Nomor 32 tahun 2005 tentang penyiaran ditetapkan menjadi Lembaga Penyiaran Publik yang Independen, Netral, tidak komersial dan melayanai kebutuhan masyarakat termasuk berita dan informasi. Independensi dan netralitas yang ada itu bukan sekedar dinikmati, melainkan harus disertai tanggung jawab sosial. Caranya bukan lagi dengan pengawasan, melainkan dengan bekal profesionalisme yang memungkinkan disajikannya informasi yang tepat, akurat dan benar. Dengan begitu, ketika melakukan pengawasan, kritik dan koreksi serta saran berkaitan dengan kepentingan umum, tidak akan ada yang melakukan komplin atau keluhan apalagi gugatan.

Karena itu menjadi profesional adalah sebuah tuntutan. Seorang wartawan mesti mempunyai kemampuan yang memadai untuk menunjang pelaksanaan tugasnya. Ia juga mesti berwawasan luas dan senantiasa terbuka terhadap pengetahuan baru, serta punya integritas dan tanggung jawabnya kepada masyarakat. Syarat profesionalisme itu pula yang kini mesti dijadikan salah satu bahan kajian. Hal itu dilakukan bersamaan dengan perumusan bersama mengenai apa yang sesungguhnya menjadi sasaran dan tujuan pers nasional kita.

Bekti Nugroho, yang kini salah seorang anggota Dewan Pers, ketika menjadi nara sumber diskusi bersama saya pernah menganalogikan profesionalisme wartawan dengan profesionalisme dokter kandungan. Wartawan, kata Bekti, bisa berkaca dari apa yang dilakukan dokter kandungan ketika memeriksa ibu yang hamil. Tidak ada komplin dari suami yang mengantarkan istrinya ketika diperiksa dokter kandungan, ketika si dokter.... maaf... memeriksa kandungan si ibu dengan menggunakan jari telunjuknya. Mengapa ? Karena si suami yakin dokter kandungan itu melaksanakan tugasnya secara profesional dan berdasar kode etik kedokteran.

Dirgahayu Pers Nasional kita.

Salam Hangat,

M. KABUL BUDIONO.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun