Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Sepak Bola, Indonesia, Israel, Humanisme, FIFA, Teroris

30 Maret 2023   14:55 Diperbarui: 28 Agustus 2023   09:48 401 5
Akhirnya FIFA menjatuhkan sangsi keras yang membuat malu bangsa Indonesia setelah 'drama sepak bola di Indonesia' membawa-bawa nama Israel ke dalamnya. Runtuh sudah harapan semua orang untuk membangun sepak bola Indonesia.

Seperti pertandingan sepak bola, drama sepak bola Indonesia ini dikomentari macam-macam oleh berbagai orang. Setidaknya ada 3 komentar menonjol yang muncul di media sebelum dan sesudah FIFA menjatuhkan keputusannya.

Ketiga komentar yang marak di berbagai media (terutama medsos) ini menunjukkan adanya konsep berpikir yang sama, yaitu tidak mendahulukan humanism di atas segalanya.

1. Negara penjajah Israel harus ditolak supaya bisa memenuhi apa yang diamanatkan oleh Bung Karno, yaitu menolak penjajahan.

Padahal negara penjajah ada banyak, namun yang ditolak hanya Israel. Kecuali didefinisikan kembali apa yang dimaksud dengan kata penjajahan itu. Padahal pula olahraga bisa dimanfaatkan untuk mendorong perdamaian, apalagi konflik Israel-Palestina semakin tahun semakin menunjukkan titik terang melalui sikap negara-negara Arab/Muslim yang semakin bersahabat dengan Israel.

2. Koster, Ganjar, Jokowi adalah politisi  yang konon kawakan dari PDIP yang gak mungkin bikin keputusan atau sikap sembarangan.

Tapi keputusan Koster & Ganjar kemudian dikoreksi oleh Jokowi, dan akhirnya keputusan mereka berdua membuat malu seluruh bangsa ini. Tidak hanya membuat malu, bangsa ini menjadi gamang atau bertanya-tanya, apakah mereka dapat memikul beban berat, jika mereka mudah sekali membuat keputusan yang tidak mencerminkan keberpihakkannya pada humanism. Nampaknya mereka mudah saja mengikuti selera sekelompok orang di masyarakat, sehingga mungkin sekali mereka juga mudah dipedaya untuk melakukan keputusan yang lebih konyol atau justru membahayakan masyarakat atau humanism.

3. Ada ancaman teroris yang tak sanggup ditanggulangi oleh Densus 88, BIN, Kopassus, Banser NU, bahkan Mossad sekalipun.

Ini gambaran ketakutan pada teroris yang berlebihan yang tidak boleh menular kepada masyarakat. Pemimpin yang baik tidak akan tunduk pada terroris atau kelompok pro kekerasan, apalagi sambil mencoreng wajah seluruh bangsa ini. Tanpa ada event internasional sekalipun, seperti sepak bola, teroris bisa saja beraksi kapan saja dan di mana saja. Pemimpin yang baik justru menyemangati masyarakat agar bangkit bersama melawan teroris tanpa takut. Tidak boleh teroris ikut menentukan kebijakan, misalnya dalam kegiatan sepak bola.

Penutup

Empati tentu bisa dipalsukan, atau kita bisa bertingkah seolah punya empati yang besar, padahal cuma untuk pencitraan.

Politisi menurut berbagai riset terbukti paling jago dalam soal pencitraan, sehingga ia bisa terlihat memeluk humanism dengan erat. Sementara itu dasar dari humanism itu adalah empati.

Orang yang tak punya (kurang punya) empati itu tak bisa setiap saat memalsukan empatinya. Pasti ada saat ia terlihat cuma seorang narcissist yang menyedihkan. Kata-kata yang pernah diucapkan atau ditulis (melalui jejak digitalnya), akan bisa dianalisis, apakah ia memalsukan empatinya atau tidak.

Contoh yang paling bagus adalah bagaimana ia memahami Konflik Israel-Palestina. Sulit bagi mereka yang memalsukan empatinya untuk bisa punya pandangan jernih soal konflik itu, sehingga tergambar dalam sikap atau kebijakan yang diambilnya. Contoh yang lain lagi: apa pula yang dikatakannya ketika harapan bangsa ini pada sepak bola runtuh?

M. Jojo Rahardjo

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun