Padahal konflik Israel-Palestina sebenarnya semakin hari semakin menunjukkan titik-terang. Beberapa negara Arab yang dulu berkonflik dengan Israel sudah menerima "the recognition of Israel's right to exist". Banyak juga negara yang sudah menetapkan kantor kedubesnya di ibukota Israel, yaitu Jerusalem. Saudi Arabia meski belum secara resmi, namun sudah memiliki beberapa hubungan kerjasama yang erat, seperti penerbangan komersial sudah terjalin sejak 2020 lalu.
Bagaimana dengan Indonesia?
Ada 1 peristiwa bersejarah yang paling menentukan, yaitu di tahun 1948, sesaat setelah Israel mendeklarasikan kemerdekaannya di sebuah wilayah yang berdampingan dengan wilayah Palestina. Negeri-negeri tetangganya serentak mengeroyok Israel, padahal Israel baru saja merdeka.
Negeri-negeri Arab ini kaget, kok gerombolan Yahudi (yang sebagian baru datang dari Eropa) tiba tiba mendirikan sebuah negara di antara negeri-negeri mereka.
Sebelumnya, negeri-negeri Arab ini (plus warga Palestina, karena belum terbentuk negara Palestina) sudah menolak tawaran PBB (1947) untuk membagi 2 wilayah konflik itu untuk 2 komunitas: 1. Israel, 2. Palestina. Namun negara negara Arab dan komunitas Palestina sama sekali menolak tawaran PBB untuk adanya wilayah Israel, sehingga mereka lupa harus mendirikan negara Palestina yang ada di wilayah konflik itu. Pemimpin Palestina memilih bersama dengan pemimpin negara-negara Arab untuk fokus mengeroyok negara Israel yang baru berdiri itu.
Meski dikeroyok, Israel ternyata berhasil memenangkan peperangan, bahkan dengan gilang-gemilang. Karena itu Israel berhasil atau berhak atas beberapa wilayah yang baru dimenangkannya, termasuk Jerusalem Barat dikuasainya. Wilayah-wilayah yang baru dimenangkan oleh Israel itu kemudian disebut sebagai wilayah yang dicaplok Israel.
Ada 750 ribu orang Palestina menjadi pengungsi, gara-gara perang itu. Mereka terusir dari wilayah yang mereka tinggali sebelumnya. Sebagian ada yang bisa memasuki negara-negara Arab di sekitar wilayah konflik, sebagian lagi tetap berada di kamp pengungsi hingga puluhan tahun lamanya.
Hingga sekarang Palestina fokus pada kegiatan utamanya, yaitu tidak mengakui negara Israel, sehingga kurang fokus membangun negara Palestina.
Padahal di tahun 1967, sekali lagi negara-negara tetangga Israel (Arab) mengeroyok. Perang ini dikenal dengan nama Perang 6 hari. Seperti di tahun 1948, Israel berhasil memenangkan peperangan hingga bertambah lagi wilayah Israel. Itu termasuk wilayah Tepi Barat, dan Jerusalem Timur, sehingga seluruh wilayah Jerusalem dikuasai oleh Israel yang sebelumnya dikuasai oleh Jordan. Juga termasuk Gaza Strip yang sebelumnya wilayah Mesir.
Lalu semua wilayah yang dikuasai oleh Israel itu disebut sebagai wilayah pendudukan Israel atau wilayah yang diagresi oleh Israel. Padahal dalam catatan sejarah, Israel disebut mempertahankan diri dari serangan negara-negara tetangganya, namun lalu memenangkan peperangan.
Konflik Israel-Palestina menjadi semakin rumit hingga sekarang. Lalu kemudian, Israel bertambah maju, bertambah makmur, bertambah kuat, bahkan warganya bertambah bahagia (lihat World Happiness Report dari tahun ke tahun).
Jika kita menggali-gali catatan sejarah di seputar konflik Israel-Palestina, maka kita akan menemukan kesepakatan damai sulit tercapai antara Israel dan Palestina. Berbagai usulan perdamaian ditolak oleh Palestina, karena Palestina menginginkan 1 hal saja, yaitu tidak boleh ada negara Israel. Padahal Israel sejak pertama sekali konflik itu merebak, setuju adanya negara Palestina.
Penolakan adanya negara Israel ini dikenal dengan sebutan penolakan pada "the recognition of Israel's right to exist". Awalnya Israel ditolak banyak negara, terutama negara-negara Arab atau muslim. Namun sekarang beberapa negara Arab sudah tidak menolak lagi "the recognition of Israel's right to exist".
Ini daftar negara Arab atau muslim yang mengakui Israel:
Mesir, Jordania, United Arab Emirates (UAE), Bahrain, Sudan, Morocco.
Entah kapan Indonesia akan menyusul negara-negara Arab itu.
M. Jojo Rahardjo