==o==
Alexander the Great dalam catatan sejarah disebut sebagai orang besar karena Alexander mampu menaklukkan banyak wilayah di dunia hanya dalam tempo sekitar 1 dekade saja, padahal usianya masih 20an tahun. Namun banyak orang yang mengabaikan fakta ratusan ribu orang terbunuh karena agresinya ke berbagai wilayah itu. Alexander tetap saja memiliki pengagum. Demikian juga Hitler, Trump, Putin, dll. Mereka menurut para ahli di jaman kini adalah penyandang dark triad personality (Apa itu dark triad personality klik sini untuk membaca artikel yang saya tulis sebelumnya).
Sambo juga begitu. Pengagumnya sekarang "bergerak". Salah satu imbasnya adalah serangan pada Richard E. Padahal ratusan pakar hukum sudah tampil untuk membela Richard. Jadi Richard sebenarnya aman, karena secara keilmuan (hukum), apa yang dilakukan Richard dijamin oleh hukum. Itu semua terpampang jelas sekali dalam proses persidangan, namun pembenci Richard mengabaikan itu. Itulah salah satu fenomena yang ingin dibahas artikel ini.
Tapi bukan hanya itu yang menyebabkan serangan pada Richard. Jika kita menyimak film dokumenter berjudul "The Social Dilemma" di Netflix, banyak pakar dan praktisi medsos (kelas dunia) yang sudah mengingatkan tentang bahaya medsos (klik di sini untuk membaca artikel sebelumnya mengenai itu).
Misinformation/disinformation (2 hal yg berbeda) cepat sekali bergerak, yaitu 6 kali lebih cepat dari informasi yang terkonfirmasi atau informasi yang valid. Misinformation/disinformation itu adalah: hoax, conspiracy theory, gossip, desas-desus, fitnah, hasutan, omong kosong, dll. Selalu ada pengguna medsos yang dengan enteng dan tanpa sikap kritis yang meneruskan semua misinformation/disinformation itu sehingga menjadi semakin tesebar, bahkan viral. Apa yang tersebar luas itu, apalagi yang menjadi viral sering disangka informasi yang valid atau benar.
Inilah yang sedang terjadi belakangan hari ini, setelah vonis 1,5 tahun dijatuhkan untuk Richard. Misinformation/disinformation seputar itu menjadi wara-wiri di medsos. Mungkin saja ini sebuah amatan yang tidak valid, karena ada orang yang tidak melihat misinformation/disinformation itu wara-wiri di medsosnya. Namun soal skandal Sambo ini menghasilkan perdebatan yang panjang yang sudah berbulan-bulan dan malah terus menggila sejak vonis Sambo diturunkan. Tentu jejak digital perdebatan itu sudah tersimpan dengan baik.
Vonis Richard pun dipersoalkan oleh netizen, kata mereka itu terlalu ringan untuk seorang pembunuh teman sendiri. Nampaknya mereka tidak menyimak jalannya persidangan, atau mereka hanya membuat sepotong komentar dari berita yang juga cuma sepotong. Bahkan di antara mereka tidak tahu, bahwa di pengadilan Sambo "terbukti" menembak dengan tembakan mematikan di kepala Joshua setelah Sambo memerintahkan Richard, untuk menembak Joshua. Mereka juga tidak menyimak jalannya persidangan yang menunjukkan bahwa Sambo dan kakitangannya "terbukti" banyak berbohong, sehingga apapun yang dikatakan Sambo dan kakitangannya menjadi tidak bisa dijadikan dasar untuk membela Sambo atau membenci Richard.
Banyak yang tidak dipertimbangkan oleh mereka yang menyebarkan misinformation/disinformation itu yang jika ditulis di sini akan sangat panjang sekali. Semua yang tidak dipertimbangkan itu sebenarnya sudah ditunjukkan melalui sikap ratusan pakar hukum Indonesia yang membela Richard saat persidangan berlangsung.
Bahkan ada gerakan yang cukup aneh, karena gerakan ini terkesan mereka mencoba membela Sambo yang padahal sudah terbukti menjadi otak dan sekaligus pembunuh Joshua yang utama. Mereka tiba-tiba mempersoalkan adanya hukuman mati dengan mengkaitkannya dengan berbagai hal, misalnya HAM, ajaran agama, dll.
Sehingga tidak aneh jika muncul 3 spekulasi tentang mereka:
1. Mereka mau membela Sambo
2. Mereka mau bergaya membela HAM (korban FOMO, Fear Of Missing Out)
3. Mereka masuk ke dalam arus deras misinformation/disinformation yang dijelaskan di atas.
Penutup
Skandal Sambo ini adalah contoh mini dari apa yang bakal terjadi di tahun politik 2024 nanti. Maka itu bersiaplah! Suasana akan lebih riuh, bahkan lebih panas dan berbahaya daripada Pilkada Jakarta 2017 atau Pilpres 2019. Polarisasi di masyarakat akan lebih lebar. Semua itu karena adanya peran medsos. Politisasi agama atau penunggangan agama akan semakin gila, karena cara itu terbukti gampang dan murah untuk mengusung kandidat yang bertarung. Itu menjadikan semuanya akan melakukan politisasi agama. Salah satu contoh ringannya adalah akan ada banyak kunjungan ke pesantren atau gereja.
Sebagaimana sudah saya himbau di beberapa tulisan sebelumnya: kita harus duduk bersama untuk membahas bahaya medsos ini agar NKRI tetap terjaga utuh.