Sepintas, anjuran membaca buku itu mulia, bahkan sebuah keharusan. Namun kita sekarang hidup di masa industrial revolution 4.0. Apa artinya itu. Anda bisa search di Google dan mendapatkan artinya.
Ini ringkasannya, jika Anda melakukan search mengenai itu di Google:
Jaman sekarang ini apa yang harus kita baca itu tidak bisa lagi hanya sekedar buku yang biasa, misalnya yang ada di sekolah, bahkan buku yang dianjurkan oleh para pendidik selama ini, atau juga oleh para pemikir besar bangsa ini. Jadi apa?
Buku yang harus kita baca itu adalah buku yang dianjurkan oleh pemikir besar dunia dan paling progresif di masa ini. Ini pasti mudah untuk menemukan siapa pemikir itu.
Mengapa harus buku yang dianjurkan pemikir besar dunia?
Dunia di masa depan berkembang tidak lagi menurut arah yang bisa kita tebak, karena di jaman ini sedang dikembangkan Artificial Intelligence (AI) yang hasilnya sudah terlihat jelas sekali. Apa progres dari pengembangan AI itu? Salah satu produk AI yang menggemparkan dunia adalah GPT-3. Kemampuan GPT-3 ini sangat luar biasa, karena ia mampu memberikan menjawab pertanyaan seperti manusia yang cerdas (bahkan lebih cerdas).
Layanan yang diberikan GPT-3 antara lain: mampu menulis artikel panjang atau pendek, berdasarkan masukan yang diberikan. Satu aplikasi yang terkenal adalah CopyAI. GPT-3 memiliki akses ke semua data atau informasi yang ada di Internet (sebagai masukan), sehingga GPT-3 juga mampu menulis surat kontrak berdasarkan pasal-pasal hukum yang berlaku di wilayah tertentu. GPT-3 juga sudah dibuat sebagai aplikasi chat bot dengan dilengkapi video, sehingga pengguna mengira sedang melakukan chat bot dengan manusia (seperti melakukan Zoom).
Satu experiment telah dilakukan untuk "menghidupkan pikiran" seseorang yang sudah mati melalui semua record chatting yang pernah dilakukan saat masih hidup. Lalu Chat bot itu dicoba untuk melakukan percakapan dengan mereka yang pernah mengenal orang itu sebelumnya. Hasilnya semua yang melakukan percakapan dengan chat bot itu menyatakan pikiran chat bot itu sama dengan pikiran orang yang sudah mati sebelumnya itu. Lihat di sini contohnya: https://www.cnet.com/culture/hereafter-ai-lets-you-talk-with-your-dead-loved-ones-through-a-chatbot/
Masih ada banyak lagi kemampuan AI yang sudah bisa dilihat sekarang ini yang mungkin bisa membuat Anda bergidik. Termasuk juga menciptakan karya seni, atau mendisain bentuk mobil baru.
Namun kemampuan yang membuat kita tidak lagi bisa menebak bagaimana bentuk masa depan manusia adalah kemampuan GPT-3 dalam menulis coding untuk memperbaiki dirinya sendiri. Hasilnya adalah GPT-4 akan segera dirilis di tahun 2022 ini, padahal GPT-3 baru saja diluncurkan tahun 2020 lalu. Itu juga berarti apa gunanya belajar coding sekarang ini, jika coding yang dibuat oleh AI jauh lebih baik?
Sebagaimana kita tahu, AI sudah digunakan secara luas di berbagai sektor, seperti keuangan global, apalagi di berbagai industri besar di dunia. Kita sudah melihat bagaimana beberapa pekerjaan tertentu sudah mulai digantikan oleh berbagai aplikasi dari AI ini.
Bahkan media sosial yang kita gunakan tiap hari itu sudah disebut berhasil memanipulasi penggunanya. Pengguna medsos mengira ia memiliki pilihan bebas dalam mengkonsumsi konten di medsos, padahal medsos sudah dilengkapi dengan AI (algorithm) untuk memahami kecenderungan Anda, sehingga medsos itu akan menyajikan konten yang hanya sesuai dengan kecenderungan Anda.
Bahkan medsos akan menyajikan konten yang akan membuat Anda untuk lebih aktif di medsos (kecanduan). Ternyata konten yang membuat Anda kecanduan itu adalah konten kekerasan, teori konspirasi, misinformation, hoax, dan lain-lain. Medsos menurut riset mengakselerasi hoax 6 kali lebih cepat daripada informasi yang terkonfirmasi.
Penggunaan AI di medsos ini menimbulkan perdebatan luas di dunia, karena terbukti malah mengeskalasi berbagai persoalan dunia (global issues). Kekerasan, terorism, disinformation atau misinformation, hingga melebarnya polarisasi politik di masyarakat di berbagai negeri di dunia menjadi menggila.
Soal ini sampai menciptakan satu gerakan dunia untuk tidak menggunakan medsos. Gerakan ini bahkan diinisiasi oleh beberapa orang yang dulunya bekerja mengembangkan berbagai platform medsos, namun karena nuraninya, mereka berhenti dari berbagai perusahaan besar kelas dunia itu untuk mulai berkampanye berhenti menggunakan medsos.
Satu documentary yang dirilis oleh Netflix tahun 2020 lalu berjudul: "The Social Dilemma" memberi peringatan keras kepada dunia tentang bahaya medsos ini, yaitu: medsos bisa mengakibatkan punahnya manusia atau rusaknya planet Bumi karena perang yang dipicu oleh medsos. Kita bisa melihat contoah mengenai itu melalui perang narasi di medsos seputar agresi Putin di Ukraina. Para ahli dengan gelar akademis yang tinggi sekalipun ikut menghasut berbagai pihak agar perang itu terus bergelora, tanpa takut terjadi perang nuklir.
Pertanyaan besar yang sekarang menggaung di seluruh dunia adalah: apakah kecenderungan medsos (algorithm/AI) yang membahayakan kemanusiaan ini bisa "diperbaiki"? Apakah para pengendali berbagai platform medsos bersedia mengurangi keuntungan finansialnya saat mengupayakan medsosnya agar tidak mengeskalasi berbagai negativity (berbagai global issues) yang selama ini sudah mengemuka?
Bahkan pertanyaan ini juga harus diajukan: apakah algorithm/AI yang digunakan di berbagai platform medsos itu masih bisa dikendalikan?
PENUTUP
Melihat semua itu, apakah buku cetak yang ada sekarang bisa mengantarkan kita kepada pengetahuan yang bisa berguna di jaman baru di masa depan yang dekat dan belum bisa ditebak? Bahkan gerakan menterjemahkan banyak buku dari bahasa asing ke bahasa Indonesia adalah gerakan yang amat terlambat sekarang ini alias basi, karena sekarang semua harus menguasai bahasa asing, karena pengembangan teknologi dan sains untuk waktu yang lama selama ini telah menggunakan bahasa asing, bukan bahasa Indonesia. Mengupayakan masyarakat untuk bisa menguasai bahasa asing jauh lebih murah dibanding melakukan penterjemahan besar-besaran.
Buku digital memang sudah tersedia dengan konten mengenai soal-soal seperti yang tertulis di atas. Namun dari mana kita memulai untuk menguasai berbagai konten itu? Apakah dari ilmu fisika kuantum? Tentu itu menjadi pertanyaan: apakah otak manusia bisa lebih baik dalam soal fisika kuatum, daripada kemampuan AI yang bakal memiliki kekuatan jauh lebih tinggi?
Apakah kita akan memulainya dari mendesain ulang teknologi, misalnya alat atau sistem transportasi? Padahal AI sudah bisa mendisain berbagai kendaraan yang kita butuhkan, hingga mendisain cara kita hidup di angkasa luar. Bahkan AI pula yang sedang mendisain ulang komputer dengan kekuatan maha besar yang sangat mungkin sekali peruntukannya untuk kepentingan pengembangan AI.
Hari Buku Sedunia kemarin 23 April sudah seharusnya menggaungkan tanda tanya besar: bagaimana merancang sebuah Dewan Buku Nasional di Indonesia untuk memberi solusi pada kebutuhan buku digital yang bisa dikonsumsi oleh semua orang tanpa terkecuali, agar bisa menjawab tantangan masa sekarang dan masa depan yang nyaris tak bisa ditebak karena hadirnya industrial revolution 4.0 sekarang ini.
M. Jojo Rahardjo