Berkat "kecelakaan" seperti Chernobyl itu, pembangkit nuklir lain menjadi lebih aman. Bahkan sekarang banyak ahli yang mengajukan bukti-bukti, bahwa pembangkit nuklir jauh lebih ramah lingkungan daripada renewable energy seperti dari matahari, angin, air, panas bumi, dll. Kaget? Tentu banyak yang kaget, namun itu didukung oleh riset. Penjelasannya sederhananya begini: renewable energy ternyata tetap memiliki carbon footprint yang besar. Sedangkan pembangkit nuklir memiliki carbon footprint yang lebih sedikit dibanding renewable energy. Yuk Google soal itu.
Ada penjelasan lain yang lumayan bikin kita tergiur untuk memiliki pembangkit nuklir. Perancis ternyata memiliki pembangkit nuklir yang kapasitasnya lebih besar daripada Jerman (yang terlalu asik mengembangkan renewable energy). Hasilnya harga energi (listrik) di Perancis jauh lebih murah daripada di Jerman, bahkan di negeri-negeri Eropa lainnya.
Indonesia mungkin gak bisa punya pembangkit nuklir, jadi lebih suka mengembangkan renewable energy, karena menurut Jokowi kita punya banyak matahari, angin, panas bumi, dan air. Untungnya Jokowi benar, karena baru beberapa tahun terakhir ini beberapa riset yang mengembangkan penggunaan renewable energy memang sudah mencapai taraf di mana harga jual energinya (listrik) bisa lebih murah sedikit daripada fossil energy.
Kalo Jokowi mau selangkah lebih maju dalam renewable energy, mestinya Jokowi mengembangkan teknologi penyimpanan energi (baterai), karena di sinilah faktor yang membuat renewable energy menjadi mahal untuk dikonsumsi. Tentu baterai ini bukan yang konvensional, tapi sesuatu yang bukan tempat menyimpan energi listrik, tapi menyimpan energi dalam bentuk yang lain.
Kita hidup di jaman AI, bukan?