Belum lama ini medsos ramai memperbincangkan sebuah konten dari sebuah video tentang angka-angka IQ di antara beberapa negara. Indonesia menurut data yang tersedia ternyata hanya 87 (rata-rata) kalah dengan beberapa negara Asia lainnya.
Kebanyakan orang memperdebatkan apa penyebab angka IQ orang Indonesia begitu rendah? Yang lain memperdebatkan apakah angka itu membuat Indonesia susah menjadi negara maju? Apakah angka itu menjawab mengapa medsos diramaikan oleh konten dan komen yang tak berkualitas, bahkan cenderung hanya maki-makian.
Video itu kurang lengkap menyajikan data lain yang tak kalah penting, yaitu tentang validitas tes IQ yang sudah berusia 100 tahun itu. Apakah masih relevan atau masih valid di zaman digital ini? Ternyata sudah banyak para ahli yang tidak lagi menggunakan tes IQ itu untuk menjadi patokan dalam menganalisa perilaku, kemampuan memberi solusi, produktivitas, kreativitas, inovasi, altruism, hingga kesehatan mental.
Pada awalnya tes IQ dibuat untuk mengukur usia mental seorang anak. Pembuat tes IQ, sekitar 100 tahun lalu, Alfred Binet sudah menyadarinya ketika dia mengembangkan tes tersebut. Sebagaimana kita ketahui, banyak yang dinyatakan memiliki IQ tinggi di masa kanak-kanaknya, namun setelah dewasa ternyata tak menunjukkan kecerdasan yang berarti, termasuk prestasi atau produktivitas dan lain-lain.
Binet ketika itu sudah menekankan bahwa kecerdasan adalah sebuah konsep luas yang tidak bisa ditentukan dengan angka tertentu.
Tony Florio, seorang psikolog klinis yang mengkhususkan diri pada masalah IQ mengatakan, bahwa sekarang ini otak kita kurang digunakan, karena kita tidak perlu lagi mengingat pengetahuan umum yang bisa kita dapatkan dari mesin pencari seperti Google. Kita juga bahkan sejak lama sudah tak menggunakan otak kita dalam berhitung, karena mengandalkan kalkulator untuk menghitung angka-angka.
Karena itu, tes IQ yang ada harus diubah untuk bisa mengukur "kecerdasan" (dalam tanda kutip, karena harus didefinisikan lagi dengan hati-hati).