Beliau mulai menulis cerpen dalam usia yang termasuk muda, 13 tahun. Dan langsung melejit. Karya-karyanya dimuat di Majalah Kisah, majalah khusus cerpen, yang jadi standar karya sastra baik dan bermutu saat itu, di bawah asuhan HB Jassin. Beliau terus mengembangkan kreasinya, merambah puisi, esai dan seterusnya.
Saya salah seorang pembaca Ajip Rosidi, sejak mula. Saat itu saya masih tinggal di Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Majalah Kisah masuk juga ke kota itu, tetapi jumlahnya sangat terbatas. Maka saya bela-belain benar untuk memburunya, supaya tidak kehabisan. Bagi saya, Ajip Rosidi anak luar biasa. Sebenarnya kami seusia (Ajip Rosidi enam bulan lebih tua dari saya), tetapi, lihatlah, dia sudah bisa menulis seperti itu, jadi bahan ulasan HB Jassin pula. Saya memang juga seorang penyuka baca (kemudian juga seorang penyuka tulis). Tetapi apa yang bisa saya bikin? Tidak ada! Lama-lama "iri" juga saya sama Ajip Rosidi ini. Masak dia bisa, saya tidak. Lihatlah, cerpennya sering bertema sederhana saja. Misalnya, tentang sebuah sepede Hercules. Maka saya pun terlecut untuk menulis juga. Rajin saya kirimkan ke Kisah. Hasilnya? Saya hanya harus malapeh hao, kata orang Minang. Satu-satunya cerpen bikinan saya cuma pernah dimuat di majalah Roman, adik kandung Kisah, yang memuat cerpen-cerpen KW2. (Tetapi senang juga saya mengenang, salah satu cerpen Nugroho Notosusanto, "Perawan di garis depan" pun terbit di Roman itu).
Dalam usia 77 sekarang, sudah banyak betul tentunya yang dijalani dan dialami Ajip Rosidi. Semoga Allah memberinya keberkahan, sehingga dapat lebih banyak berbuat untuk Indonesia tercinta ini.
Dirgahayu, Ajip Rosidi.
BTW, untuk mengenal beliau lebih lanjut, silakan baca otobiografi "Hidup Tanpa Ijazah". Dalam buku setebal lebih dari 1000 halaman itu, semuanya lengkap tersaji. Dan yang rasanya penting juga dicatat, penerbitan buku itu memakai sistem sponsor, sehingga harganya dapat ditekan. Bayangkan harga nyata bagi buku setebal itu.