Bagian pertama -- Bagian kedua
***
3 tahun setelah kematian Lilik, diusiaku yang sudah baru saja memasuki usia 20 tahun. Kehidupan kami sekarang semakin membaik. Setelah kusen-kusen rumah diganti, sekarang giliran dapur kami yang direnovasi. Dulu kami memasak di kompor yang terbuat dari susunan bata dan tanah yang biasa kami sebut pawon, sekarang kami memasak di kompor dengan menggunakan elpiji ukuran 20kg. Makanan kami tak lagi bau asap yang berasal dari pembakaran kayu kering di pawon. Wajah kami juga tak lagi mengkilap karena keringat yang bercampur dengan asap yang mengepul berlebihan dari pawon.
Dengan kondisi kami yang sekarang, kadang aku menangis sendiri. Dewi dan Lilik ternyata tidak seberuntung aku dan Didik, tidak sempat merasakan hidup enak dan tidak pernah lagi tidak makan. Tapi aku yakin, Tuhan pasti sedang berbaik hati padaku dan Didik karena merasakan nikmat ini. Dan aku merasa, Tuhan memiliki rencana lain kepadaku atas nikmat yang aku rasakan sekarang. Entahlah.
Oh iya, dua bulan yang lalu, Mak memiliki 2 petak sawah ukuran sedang yang dia beli dari Sukri, tetangga kami yang berniat hijrah ke Surabaya karena diiming-imingi keluar negeri untuk jadi TKI. Tetapi, kemampuan Mak membeli sawah Sukri, menimbulkan tanda tanya besar bagiku. Uang dari mana?
Mak memang pandai dalam mengatur keuangan keluarga. Meskipun uang yang diterima Mak dari bu Nyoto tidak banyak, kami masih bisa makan meskipun hanya satu kali sehari dan kami masih mendapatkan uang saku meskipun hanya bisa untuk beli dua buah gorengan. Tapi, kali ini aku sedikit ragu tentang Mak mampu membeli dua petak sawah. Uang dari mana? Harga sepetak sawah saja sudah mahal, lha ini Mak malah sanggup membeli dua petak. Kalau memang tabungan Mak banyak, kenapa dari dulu kami harus menahan kesabaran untuk membeli barang yang kami inginkan karena uang saku kami sedikit?
Dan lagi, kupingku kian hari kian aku buat tebal. Para tetangga kerap kali menjadikan kami sebagai bahan untuk bergosip. Hari ini mereka mengatakan kalau Mak tidur dengan Sukri sehingga Sukri rela memberikan sawahnya dengan harga murah. Besoknya mereka bergosip kalau Mak menggunakanku sebagai daya tarik (entah daya tarik apa) sehingga Mak bisa mapan hidupnya. Lain hari, mereka bergosip kalau Mak memiliki pekerjaan tambahan di kota sebagai WTS karena kerap kali mereka melihat Mak di perbatasan desa ketika malam sudah sangat larut.
Dari mana aku tahu gosip-gosip itu? Ah, suara mereka keras sekali ketika aku berjalan di depan mereka. Bahkan yang lebih kurang ajar, ada beberapa dari mereka yang menanyakan langsung kebenaran gosip itu ke aku. Awalnya aku biasa saja menanggapi ulah mereka, lama-kelamaan aku jengah dan bosan. Sempat aku singgung tentang gosip yang menimpa kami kepada Mak, tapi Mak hanya memberi jawaban ringan.
"Gosip itu dibuat sama orang yang iri, Sari." Jawab Mak kala itu sambil membereskan piring-piring kami setelah kami makan bersama di petang hari.
Aku, terdiam. Apa hanya itu saja seharusnya jawaban bagi pertanyaanku? Harusnya ada jawaban yang lebih masuk akal sehingga aku tidak lagi perlu mempermasalahkan gosip-gosip itu.
***
Malam ini panas sekali. Rasanya, tidak ada pergerakan angin yang melewati sela-sela jendela nako di kamarku. Sedari tadi, aku mulai tidur dengan menggoyang-goyangkan kipas di tangan karena kipas angin yang sengaja ditempel di dinding, sudah tidak lagi sanggup menghalau panasnya suhu di kamarku. Tapi tetap saja, aku tidak bisa tertidur.
Merasa kaos oblong yang aku pakai basah sekali karena keringat, cepat-cepat aku mengambil kaos baru dari dalam lemari dan memakainya. Ketika mencoba kembali tidur, aku mendengar derik kayu pintu kamar Mak yang disusul dengan langkah seseorang dari dalam kamar Mak. Kulihat jam weker di meja belajarku, jam masih menunjukkan pukul 1 malam. Tumben Mak bangun lewat tengah malam? Biasanya baru pukul 3.30 aku mendengar alarm dari handphone Mak tanda Mak mulai melakukan aktifitas sehari-hari. Penasaran menghinggapi pikiranku yang menyuruhku mengintip ke luar kamar. Kudapati Mak menggunakan kebaya putih dan sewek coklat tua dengan rambut diurai panjang ke belakang. Jantungku berdetak kencang melihat penampilan Mak. Hampir saja aku bersuara tapi otakku ternyata sanggup memerintah mulutku untuk diam dan mulai memerintah kakiku untuk bergerak mengikuti Mak dari belakang.
Mak terus berjalan menuju ruang tamu dan kemudian membuka pintu lalu mengambil sandal dan mulai berjalan pelan menuju arah jalan. Digenggaman Mak sebelah kanan terdapat senter ukuran kecil dan jari-jari Mak sebelah kiri menggenggam kresek ukuran kecil berwarna hitam. Gerakannya lemah gemulai, seolah itu bukan Mak yang dalam kesehariannya lincah seperti kuda lumping. Terus kubuntuti Mak yang tanpa terasa kami sudah masuk di area persawahan. Kadang aku tersandung, kadang pula kakiku terperosok di dalam sawah karena tanah yang licin dan pandangan yang gelap karena aku lupa tidak mengambil senter di kamarku. Tak lama kemudian, tampak sebuah gubuk dengan cahaya yang tidak terlalu terang dan Mak berjalan menuju kesana.
Dari pandangan yang kurang jelas, kulihat sesosok pria menggunakan sarung dan kaos putih menghampiri Mak yang sudah sampai di depan gubuk lalu mencium keningnya dan memeluk pinggang Mak sambil mempersilahkan Mak masuk ke dalam gubuk. Jantungku semakin cepat berdetak, dan semakin cepat pula aku melangkah menuju gubuk itu meskipun kakiku terseok-seok karena licinnya tanah sawah. Sesampainya di gubuk, kurendahkan badanku supaya tidak ketahuan ketika aku mencari tempat persembunyian dan berusaha mengamati apa yang terjadi di dalam. Deg!! Jantungku semakin berdetak kencang saat tahu apa yang terjadi di dalam.