Ada beberapa pendapat orang yang mengatakan bahwa anak-anak merupakan duplikat terbaik orang dewasa. Karenanya, kita sebagai orang dewasa hendaknya selalu memberikan teladan yang baik kepada anak, baik dalam tutur kata maupun perilaku.
Saya memiliki cerita tersendiri tentang pemberian teladan. Sikap teladan dari saya kali ini adalah kedisiplinan. Tetapi obyek saya kali ini bukan anak saya (karena saya belum memiliki anak ^_^) tetapi dua sepupu saya yang masih kecil.
Namanya Dilla dan Nanda. Dilla sekarang sudah menjalani setengah semester pertama di bangku SD kelas satu. sedangkan Nanda, sudah mulai belajar berinteraksi dengan teman sebayanya di playgroup. Mereka kerap kali bertengkar hanya karena (yang menurut saya) masalah sepele seperti merebutkan sesuatu atau menerima pembagian barang yang tidak sama. meskipun begitu, dua gadis cilik ini adalah anak-anak yang cerdas dan cepat tanggap terhadap susuatu sesuai dengan umur mereka. Karena kami bertiga sama-sama perempuan, mereka sangat betah kalau sudah bermain bersama saya. Kondisi inilah yang sering saya manfaatkan untuk menanamkan kedisiplinan meskipun dalam bentuk yang sederhana kepada mereka seperti selalu membuang sampah pada tempatnya, mencuci tangan setelah makan sehingga tidak mengusap tangan yang kotor ke baju, menonton televisi dengan jarak pandang yang baik dan saling berbagi antar saudara atau mengalah kepada saudara.
Tetapi, sebaik-baiknya orang dewasa merancang pembelajaran yang konsisten kepada anak-anak, tetap saja suatu saat akan terjadi kesalahan juga. Dan itu pernah terjadi pada saya.
Suatu petang, saat setelah sholat Maghrib, saya menyuruh Dilla untuk berdoa sedangkan saya dan Nanda yang meng-amini. Ketika itu, Dilla melafalkan beberapa doa baru yang diajarkan oleh gurunya dan posisi tangan saya ketika itu masih terangkat sempurna di depan wajah layaknya orang yang sedang berdoa. Karena terlalu asyik menyimak Dilla, tanpa saya sadari posisi tangan saya berubah menjadi menelangkup dan saya tempelkan di pipi sebelah kanan sebagai penyangga kepala saya. Posisi ini mirip dengan orang yang sedang tidur. Melihat posisi saya yang berubah, Nanda bertanya kepada saya dengan sikapnya yang masih lugu.
“Kok berdoa tangannya di pipi?”
Dueng!! Terasa ketimpa bantal berton-ton jumlahnya.
Mungkin Nanda ketika itu hanya bermaksud bertanya tapi pertanyaan sederhana dari nanda itu menjadi pengingat bagi saya bahwa sebelum mengajarkan kedisiplinan pada anak, kita harus bisa mendisiplinkan diri kita sendiri.
Membuat diri sendiri disiplin memang sulit. Seolah memulai segala macam aktifitas harian dengan embel-embel rutinitas.apalagi harus memberi contoh tentang kedisiplinan kepada orang lain terutama kepada anak-anak. melatih pembelajaran kepada anak, harus secara berulang-ulang dengan sikap telaten dan sabar. Ketika diri sendiri tidak mampu menunjukkan kekonsistenan dalam pembelajaran pada anak, maka anak akan menunjukkan sikap tidak peduli dan sebagai hasil akhir, pembelajaran yang kita berikan akan gagal.
Karena pentingnya sikap disiplin bagi diri sendiri, mari bersama-sama kita paksa diri kita untuk menjadi lebih disiplin daripada sebelumnya.
-Selamat Siang-