Seorang ibu yang menjadi wali murid salah satu siswa saya yang duduk di kelas 9, menemui saya dengan wajah yang penuh senyum. Saya ingat beliau, karena anaknya yang pertama juga pernah menjadi siswa saya 2 tahun yang lalu. Dan saya lebih mengingat beliau lagi, karena anaknya yang pertama dulu memiliki beberapa masalah kenakalan remaja seperti merokok, membolos sekolah, dan ikut geng motor sehingga mengganggu kegiatan belajarnya di sekolah dan hampir dikeluarkan dari sekolah.
Sebut saja beliau ibu Marti. Memiliki tiga anak dan bekerja sebagai guru TK di salah satu kecamatan di pusat kota. Sore itu, dia menemui saya karena anaknya yang menjadi siswa saya sekarang bermasalah dengan absensi kehadiran di sekolah. Sebut saja nama anaknya dengan Fifi. Sejak bulan Juli dan Agustus, sudah 6 kali alpa. Sebenarnya, bu Marti sudah mendapat surat panggilan orang tua sejak sebelum liburan Idul Fitri. Tetapi karena terserang tifus, beliau baru bisa ke sekolah untuk memenuhi panggilan orang tua sore itu.
Setelah meminta maaf karena tidak bisa hadir tepat waktu, saya menceritakan secara detail permasalahan yang dialami oleh Fifi di sekolah. Setelah mendengarkan dengan cermat apa yang saya sampaikan, beliau menceritakan apa yang dialami oleh keluarganya yang ternyata mempengaruhi kegiatan belajar Fifi di sekolah. Sudah hampir setengah tahun ini, ibu Marti tidak tinggal serumah dengan suaminya. Masalah dalam keluarganya, memaksa ibu Marti untuk pindah ke kontrakan di jalan Veteran dan tinggal bersama anak ketiganya yang masih SD. Sedangkan Fifi, lebih memilih tinggal dengan ayahnya di rumahnya sendiri di dekat alun-alun kota.
“Itulah jadinya Bu, kalau saudara ikut-ikutan mencampuri urusan saya dengan suami saya. Daripada kami harus terus-terusan bertengkar di depan anak, mungkin ada baiknya saya tinggal berbeda rumah dengan bapak dulu untuk sementara waktu. Siapa tahu, ini bisa membuat kami saling intropeksi diri.” Ucap ibu Marti sambil menangis ketika saya tanya penyebab ibu Marti tidak lagi serumah dengan Fifi.
“Saya lebih memilih begini, Bu. Saya tidak memilih untuk menggugat cerai suami saya karena saya memikirkan anak-anak.” Lanjut ibu Marti, masih dengan menangis sambil mengusap air matanya dengan jilbab abu-abunya.
“Kenapa, Bu?”
“Bu, kami baru memiliki anak setelah 10 tahun menikah. Dan sekarang anak kami sudah tiga. Tidak pantas rasanya Bu, kalau kami bercerai, bagaimana dengan masa depan anak-anak? Biarlah kami asuh anak-anak dengan kondisi seperti ini, asal anak-anak tahu kami tidak bercerai. Sambil kami saling membenahi kesalahan kami masing-masing.”
Ketika saya meminta nomer telepon yang aktif milik ibu Marni, beliau memberikan dengan senang hati. Alasan saya meminta nomer telepon untuk mempermudah komunikasi dengan orang tua apabila di suatu saat Fifi mengulang lagi masalah ketidakhadirannya di sekolah atau Fifi memiliki masalah lain di sekolah.
Memang, ketika itu, saya tidak banyak memberikan solusi atau bertanya. Saya biarkan saja ibu Marni bercerita sambil saya memperhatikan bahasa tubuh yang keluar dari caranya berbicara. Jujur, saya tertegun dengan alasan ibu Marni dan suaminya untuk lebih memilih tidak tinggal dalam satu rumah sementara waktu daripada harus bercerai. Di saat sekarang ini banyak pasangan yang memilih untuk bercerai di saat menghadapi masalah keluarga, berbeda dengan ibu Marni dan suaminya.
Perceraian, memang menimbulkan trauma tersendiri bagi anak. Apalagi ketika anak tersebut masih membutuhkan bimbingan secara utuh dari kedua belah pihak orang tua. Banyak siswa saya, baik di SMP ataupun di MTs yang memiliki perilaku negatif sebagai dampak dari perceraian orang tua. Perilaku negatif pada anak bisa menjadi dampak utama dari perceraian ataupun menjadi dampak lanjutan apabila si anak sudah tidak mampu lagi menanggung beban masalah dalam keluarga. Perilaku negatif siswa akibat perceraian keluarga yang sudah pernah saya temui seperti kekerasan terhadap teman sebaya, membolos, mencuri dan minum-minuman keras.
Hari ini, ketika artikel ini sudah terpublish, sudah ada perkembangan pada perilaku Fifi. Semenjak itu, Fifi selalu aktif dalam kegiatan belajar di sekolah. Dua hari yang lalu, dia memilih untuk tidak pulang dari sekolah karena resleting roknya rusak meskipun saya sudah memberikan dia izin untuk pulang. Sedangkan saya sebagai gurunya, hanya bisa berharap dan berusaha supaya kelak perilaku negatif Fifi tidak akan muncul kembali dan dia semakin bisa menjadi siswa yang tegar dalam menghadapi berbagai masalah dalam perjalanan hidupnya.