Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Sarwo : Cerita tentang Ayah Seorang Anak Berkebutuhan Khusus

14 April 2011   04:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:49 2559 3

Orang-orang biasa memanggilku dengan panggilan Sarwo. Padahal, ibuku memberi nama Harun sejak aku dilahirkan dulu. Entah dari mana mereka bisa mengubah namaku menjadi Sarwo. Ah iya! Sebentar, aku ingat. Mungkin karena jumlah jerawat yang sudah tidak bisa terhitung lagi jumlahnya yang menyebar di seluruh permukaan kulitku sehingga menimbulkan banyak lubang. Seperti sarang wewe gombel, begitu kata teman-temanku yang sejak kecil sampai sekarang masih juga memanggilku dengan nama favorit mereka. Sarwo. SARang Wewe gOmbel.

Tapi bukan cerita tentang namaku dan bagaimana merananya aku menyandang nama Sarwo yang mau aku bagikan ke kalian semua. Ada sepenggal cerita tentang ketegaranku menghadapi cobaan Tuhan yang dititahkan padaku sampai hari ini. Bahkan mungkin saja, sampai rohku melayang-layang diatas jasadku nanti.

Setelah mengandung 9 bulan pada 12 tahun yang lalu, istriku melahirkan seorang bayi laki-laki dengan kulit bersepuh coklat. Kami memberinya nama Alif, dengan harapan dia mampu berdiri tegak menghadapi dunia seperti layaknya huruf alif (أ) dalam huruf arab. Sungguh karunia yang tidak terduga datangnya setelah kami alpa menggendong anak selama 3 tahun karena harus memulihkan kondisi psikis istriku setelah kehilangan bayi kami dalam sebuah kecelakaan beruntun di Jawa Tengah.

Rasa bahagia kami karena titipan rizki dari Tuhan ini, ternyata tidak bertahan lama setelah kami mengetahui anak kami hanya ber-IQ 86 dan mulai menunjukkan tingkah laku di luar garis normal layaknya anak seumurnya. Banyak cercaan dari orang lain karena anak kami sering memukul kepala temannya tanpa kami tahu apa sebabnya. Atau mudah membanting barang miliknya sendiri ketika dia sedang marah. Banyak pula laporan dari guru pengajarnya kalau Alif banyak bicara di kelas ketika pelajaran sedang berlangsung. Dan masih banyak tingkah Alif lainnya yang membuat kami harus menanggung malu.

Atas saran seorang guru ketika Alif dipenghujung kelas 3 SD, saya dan istri memboyongnya pindah ke sebuah sekolah dasar berbasis inklusi di kota Gresik. Bagi kami, langkah ini akan menjadi langkah terbaik bagi Alif agar dia dapat belajar dengan kondisi yang kondusif dalam pengawasan kurikulum yang tepat sesuai dengan kondisi psikologinya. Alif marah besar ketika dia tahu kami akan memindahkan dia dari sekolah lamanya. Karena kami memahami, Alif memiliki kesulitan dalam menjalin hubungan yang baik dengan orang-orang yang baru dia kenal.

Demi kebaikan Alif pula, kami bersedia dia diberi kurikulum yang berbeda dari pada teman-teman sebayanya. Karena aku dan istri bukan lulusan sarjana seperti guru-guru Alif dan tidak memahami teks-teks yang ada dihadapan kami, saya iyakan saja ketika beberapa guru yang tergabung dalam program pelaksanaan sekolah inklusi memberi tahu kepada kami langkah-langkah apa saja yang harus mereka tempuh demi masa depan Alif. Setelahnya, mereka menyodorkan seberkas formulir pendaftaran yang bisa kami isi di rumah. Diatasnya tertulis, Formulir Pendaftaran Program Inklusi.

“Kami tidak berharap Alif menjadi anak yang pandai seperti teman-temannya yang berada dalam program reguler. Melalui program kami, kami berharap dia mampu meningkatkan kualitas diri. Supaya kelak ketika dewasa, dia mampu menjaga dirinya secara mandiri dan mampu menjalin hubungan sosial yang baik dengan orang banyak.” Begitu kira-kira kepala program inklusi berkata kepada kami berdua.

Dalam perjalanan belajar Alif di sekolah yang baru, perilaku Alif mulai ada perubahan. Kebiasaan memukul kepala teman sudah pelan-pelan bisa dikendalikan sendiri oleh Alif. Namun, ketidakstabilan emosi yang dimiliki Alif, masih sering menjadi masalah tersendiri bagi Alif dan bagi kami sebagai orang tuanya. Surat panggilan orang tua, sudah sering kami terima kalau Alif masih saja bermasalah ketika sudah marah, sedih atau bahkan ketika senang menghampiri. Tapi, kami tetap datang ke sekolah Alif dengan hati yang kami besar-besarkan karena memang seperti itulah kondisi anak kami. Untuk apa kami menutup-nutupi? Apapun yang terjadi pada Alif di sekolah, kami akan tetap datang. Karena kami sudah menyerahkan Alif untuk dididik dengan kurikulum yang sesuai. Demi masa depan dia, bukan demi masa depan kami.

Selain melalui program inklusi di sekolah, untuk mendukung munculnya perilaku positif dalam keseharian Alif, aku dan istri memutuskan untuk menyewa seorang terapis. Sesuai perjanjian kami dengan ibu Maya, nama terapis Alif, Alif akan menerima terapi perilaku sebanyak 3 kali dalam seminggu. Hari Senin, Rabu dan Jum’at pada pukul 15.30 sampai pukul 17.00, setelah Alif menyelesaikan kegiatan di sekolahnya. Karena terapi perilaku akan berhenti jika perilaku yang diubah itu hilang, maka kami sebagai orang tua harus menjadi pelapor aktif kepada bu Maya tentang perilaku lain yang muncul dan tidak sesuai dengan perkembangan Alif agar perilaku tersebut dapat berubah menjadi perilaku yang menyenangkan.

Terapi dengan bu Maya berlangsung sampai Alif menyelesaikan studinya di sekolah dasar. Bagi Alif, bu Maya sudah menjadi sahabat tersendiri ketika dia tidak mau menceritakan masalahnya kepada kami sebagai orang tuanya. Dedikasi bu Maya sebagai terapis pun, bisa kami andalkan karena bu Maya selalu memberikan laporan secara rinci kepada kami tentang penurunan dan perkembangan perilaku Alif. Menyampaikan apa adanya. Sehingga kami, terutama aku, siap dengan kondisi Alif yang terburuk sekali pun apabila perilakunya tidak dapat kami kendalikan lagi.

Namun, hubungan baik kami dengan bu Maya harus berakhir ketika Alif sudah menjalani masa-masa remajanya di bangku SMP yang juga berbasis inklusi. Terpaksa kami lakukan ini, karena kami kekurangan biaya. PHK secara sepihak dari pihak manajemen pabrik tempatku bekerja, membuat aku harus mementingkan mana yang terbaik bagi kelanjutan hidup kami sekeluarga. Terapi Alif penting, tapi kami harus mempertimbangkan pula kalau adik laki-laki Alif juga membutuhkan biaya untuk sekolah. Karena menganggur sudah melekat dalam kehidupanku sebulan ini, pengawasan terhadap Alif menjadi lebih mudah karena harus aku sendiri yang melakukannya.

Ternyata apa yang aku bayangkan tentang kemudahan mengawasi Alif, tidak sesuai dengan kenyataan. Munculnya perilaku lain yang menuju ke arah negatif karena proses terapi yang terhenti, membuat Alif semakin dijauhi oleh teman-teman sekelasnya. Seperti meludahi teman ketika sedang marah, mendorong teman ketika merasa tidak nyaman, atau seringnya mengejek teman-temannya. Melihat kondisi Alif sekarang ini, membuat aku harus mencari jalan keluar lain yang bisa membuat Alif merasa nyaman bergaul dengan teman-temannya di SMP.

Dan jalan keluar itu muncul di saat-saat tidak aku duga. Seorang guru pembimbing pada program inklusi di SMP Alif, menawarkan diri untuk memberikan terapi perilaku dengan biaya yang tidak memberatkanku. Tanpa berpikir panjang, aku terima saja tawarannya meskipun aku tahu, dia bukan seorang lulusan di bidang terapi Anak Berkebutuhan Khusus.

Sekarang ini, aku dan istriku hanya bisa berfikir positif atas semua jalan yang sudah ditetapkan Tuhan kepada kami. Meskipun Alif sudah ditangani oleh guru pembimbingnya, bagaimana pun tanggung jawab terhadap Alif tetap menjadi tanggung jawabku dan istriku. Dan demi Alif dan keluargaku, aku akan terus mencari pekerjaan supaya beban hidup kami lebih mudah.

*Kisah nyata dengan adaptasi

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun