Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Melacur. Salahkan Bapakku, Jangan Aku.

4 Maret 2011   14:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:04 334 26

Jangan salahkan aku. Salahkan bapakku. Jangan salahkan ibuku. Salahkan bapakku.

Laki-laki itu yang membuat aku menjadi penikmat rayuan laki-laki. Laki-laki itu yang membuat aku menjadi penikmat sentuhan laki-laki.

“Nana, benar ini handphone kamu?”

Ibu guru yang cantik itu bertanya dengan senyum yang menawan kepadaku. Kacamatanya yang berwarna merah, semakin memunculkan keayuannya. Senyumnya, menunjukkan dia ramah. Seperti ibuku.

Ibu, bagaimana kabarmu di sana? Meskipun kita sudah lama tidak bertemu, tapi fotomu dalam ukuran kecil masih tersimpan rapi di sela-sela dompetku. Karena aku tidak mau lagi kehilangan memori manis di masa laluku. Ibu, tahukah engkau kalau ibu guru ayu ini mirip denganmu? Cara tertawanya, cara berbicaranya, bahkan bentuk tubuhnya. Sungguh Ibu, aku masih belum bisa melupakan kepingan kenangan atasmu meskipun kau sudah meninggalkan aku ke dalam pelukan laki-laki jahanam itu 8 tahun yang lalu bersama 2 tas besar berisi pakaian dan dokumen-dokumen penting milikmu. Meninggalkan aku dengan boneka kelinciku karena laki-laki itu sudah mengkhianati cincin kawin yang selalu tertanam di jari manismu.

“Nana, ini handphone kamu?”

Ah, aku terlalu menikmati tentangmu ibu, sampai ibu guru ayu ini mengulang pertanyaannya dua kali. Wajah ibu guru ayu ini terlihat lelah, membuatku tanpa sadar menganggukkan kepalaku mengiyakan apa yang dia tanyakan.

Kulihat dia membetulkan duduknya yang sedari tadi condong ke arahku, Ibu. Sungguh gerakannya mirip dengan gerakanmu yang memiliki ribuan irama. Diutak-atik handphone coklat yang ada di genggamannya lalu menyodorkan kepadaku. Memudahkan aku melihat jalinan warna yang ada di balik layar lebar handphone milikku.

“Coba jelaskan ke Ibu, kenapa ada video seperti ini di handphonemu?”

Aku sengaja memendam suara ini, tidak mau menjawab pertanyaan ibu guru ayu ini, Ibu. Aku jadi teringat padamu Ibu. Ketika aku melakukan kesalahan, kau selalu mengawali dengan rangkaian kata “coba jelaskan”.

“Nana, bisa jelaskan ke ibu? Masalah seperti ini sudah masalah kamu yang kedua yang ditangani ibu dalam satu tahun ini.”

“Yang lalu, entah siapa yang ada di video itu. Tapi yang sekarang, yang membuat ibu kaget, ada kamu di video itu.”

Aku memandang wajah ibu guru ayu ini. Penuh harap di ujung matanya atas pertanyaan yang tak juga kunjung aku jawab. Tapi aku hanya mau diam. Bukan malas menjawab tapi karena aku terbiasa diam atas apa yang aku alami. Kucoba menyibukkan mataku memandangi gerakan-gerakan eksotisku dengan seorang remaja laki-laki yang bergerak di balik layar handphoneku.

“Nana, ibu tahu kamu anak yang baik. Kalau memang kamu mau ibu bantu supaya masalahmu selesai, cerita apa adanya ke ibu.”

Tapi aku tetap tidak mau bicara. Ah, lebih baik aku menunduk supaya aku tidak lihat wajah bulat ibu guru ayu ini yang mirip denganmu, Ibu.

Dalam tundukku, ku arahkan bola mataku ke atas mengintip sosok yang diam-diam aku kagumi sejak aku pertama kali masuk di SMP ini. Berulang kali dia membetulkan kaca matanya. Aku tahu dia gelisah, seperti ketika bapakku berulang kali menyisir rambutnya dengan kelima jarinya ketika dia gelisah karena aku memberontak untuk dicumbunya.

10 menit berlalu dalam diam.

“Nana, lebih baik kamu kembali ke kelas. Besok kita lanjutin lagi ngobrolnya.”

Jangan Bu, jangan suruh aku pergi..!! Aku sudah merasa nyaman di lingkaran perhatianmu.

Kuangkat kepalaku pelan-pelan untuk memandang wajah ibu guru ayu ini. Dan tanpa terasa, aliran air mata luruh deras di wajahku.

“Nana, menangis saja, kalau memang mau menangis. Tapi jangan hanyut dalam tangismu. Ceritakan, ibu akan senang mendengarnya.”

Huuuuaaaahhhhh..!!!!! Aku rindu padamu ibu.

Dan hanya pada ibu guru ayu ini aku menumpahkan semua luka masa laluku.

Bahwa jangan salahkan aku. Salahkan bapakku. Jangan salahkan ibuku. Salahkan bapakku.

Laki-laki itu yang membuat aku menjadi peminta rayuan laki-laki. Laki-laki itu yang membuat aku menjadi penikmat sentuhan laki-laki.

Laki-laki itu yang menggali lubang di untaian kenangan masa laluku. Laki-laki itu yang membuat aku ingin membunuhnya padahal dulu sempat aku memujanya.

Laki-laki itu yang pertama kali mencium dengan paksa tubuh indahku.

____________

Tulisan sebelumnya  yang bisa dibaca : Melatih Sifat Sabar dengan Membimbing Anak Berkebutuhan Khusus

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun