Dalam kasus ini, terlihat jelas bagaimana media sosial dapat menjadi arena di mana opini publik dikendalikan oleh potongan informasi yang bersifat parsial. Banyak pihak yang terburu-buru menyimpulkan tanpa mendalami konteks atau bukti yang sebenarnya. Hal ini menciptakan tekanan sosial yang signifikan terhadap proses hukum yang sedang berjalan. Padahal, keadilan harus ditegakkan berdasarkan fakta dan bukti, bukan pada opini yang terbentuk dari informasi yang belum tentu akurat.
Menurut sebuah artikel di Kompas, lebih dari 70% masyarakat Indonesia cenderung mempercayai informasi dari media sosial tanpa melakukan verifikasi. Dalam kasus Profesor Bambang, banyak narasi yang berkembang di media sosial yang membentuk opini publik secara cepat dan terkadang keliru. Bahkan, dalam beberapa pemberitaan di Tempo, disebutkan bahwa tekanan publik yang terbentuk melalui media sosial dapat memengaruhi persepsi dan keputusan pihak-pihak yang terlibat dalam proses hukum, termasuk hakim dan jaksa.
Media sosial dalam kasus hukum dapat diibaratkan seperti api yang cepat menyebar jika tidak segera dikendalikan. Kekuatan opini publik yang terbentuk dari media sosial bisa menjadi sangat destruktif jika dibiarkan tanpa pengawasan, dan akhirnya dapat membakar keadilan yang seharusnya dijaga dengan ketat. Kekuatan media sosial, jika tidak diarahkan dengan bijak, dapat merusak integritas proses hukum yang harusnya bersifat objektif dan tidak memihak.
Penting untuk menyoroti bagaimana kebebasan berpendapat di media sosial harus diimbangi dengan tanggung jawab dalam menyebarkan informasi. Proses hukum yang adil dan objektif harus dijaga dari intervensi opini publik yang tidak berdasar. Kasus Profesor Bambang Tri Mulyono menjadi pelajaran penting bagi kita semua tentang perlunya kehati-hatian dalam mengonsumsi dan menyebarkan informasi di era digital ini.