Tempat-tempat pemukiman para santri di pesantren terkenal dengan sebutan " Pondok ". Istilah pondok barang kali berasal dari pengertian asrama para santri, atau tempat tinggal mereka yang terbuat dari bambu. Atau barang kali berasal dari bahasa " Funduuk ' yang berarti hotel atau asrama/tempat
penginapan maka dari itu bila dikatakan pergi kepondok berarti pergi ke pesantren. Pondok menurut istilah indonesia berarti gubug atau rumah kecil. Di pesantren biasanya dibangun rumah-rumah kecil atau kamar-kamar dekat masjid dan disekeliling kediaman kyai, dan rumah-rumah kecil inilah tempat murid-murid/santri, sehingga memungkinkan diberlakukannya disiplin santri, karena mereka berdiam di dalam pondok ( asrama ). Sistem asrama bagi para santri merupakan ciri khas tradisi pendidikan pesantren yang membedakannya dari sistem pendidikan tradisional di masjid-masjid yang berkembang di Indonesia. Pada zaman dahulu hampir seluruh komplek merupakan milik kyai, tetapi sekarang berangsur-angsur berubah menjadi bukan milik kyai saja, melainkan milik yayasan atau badan wakaf atau masyarakat. Hal itu disebabkan para kyai sekarang memperoleh sumber-sumber keuangan untuk mengongkosi pembiayaan dan perkembangan pesantren dari yayasan atau masyarakat. Walaupun demikian para kyai masih tetap memiliki kekuasaan mutlaq atas pengurusan pondok atau komplek tersebut. Para penyumbang sendiri beranggapan bahwa para kyai berhak memperoleh dana dari masyarakat dan dana itu dianggap sebagai milik Tuhan. Ada dua alasan utama dalam perubahan sistem kepemilikan pesantren, pertama; pesantren dizaman dahulu tidak memerlukan pembiayaan yang besar, baik karena jumlah santrinya yang tidak banyak maupun karena kebutuhan akan jenis alat-alat bangunan dan lain-lainnya relatif sangat kecil. Kedua Kyai pesantren maupun ustadz pembantu-pembantunya termasuk kelompok mampu pedesaan, sehingga mereka mampu membiayai sendiri baik kebutuhan kehidupannya maupun kebutuhan penyelenggaraan pengajaran dan pendidikan di pesantrennya. Nb:Suismanto, Menelusuri Jejak Pesantren ( Sleman Yogjakarta: Alief Press, 1 Maret 2004 Hal: 54-55 ).
KEMBALI KE ARTIKEL