Mohon tunggu...
KOMENTAR
Olahraga

Di Mana Nasionalisme Pawang Hujan dan Para Dukun??

20 November 2011   03:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:26 560 0
Seperti yang dikhawatirkan banyak pihak, pelaksanaan SEA Games di bulan November akan berlangsung dibawah guyuran hujan dan tentunya hal itu akan mengganggu jalannya perhelatan SEA Games. Dan benar saja, dalam beberapa hari ini dua tempat perhelatan SEA Games, Jakarta  dan Palembang, diguyur hujan deras.  Hujan di sekitar Jakabaring membuat beberapa pertandingan terganggu, terutama  pada venue outdoor. Untuk beberapa pertandingan yang berlangsung indoor memang tidak begitu terganggu saat berlangsungnya pertandingan. Namun hujan tetap saja menciptakan ketidaknyamanan, misalnya saat menuju tempat pertandingan dan ketika meninggalkan tempat pertandingan. Kontur areal Jakabaring dan Palembang yang relatif landai dan dulunya merupakan bekas rawa, dengan diguyur hujan beberapa waktu saja akan segera muncul genangan-genangan air. Terlebih proses pembangunan areal pertandingan yang belum sempurna betul, terutama pada sarana pendukung seperti akses dan lanskap, yang sebagian diantaranya masih berupa gundukan tanah, maka ketika hujan turun dengan lebat gundukan tanah tersebut mencair dan yang nampak kemudian bukan taman untuk memperindah areal, tapi pemandangan layaknya bekas tambang. Hal itu ditambah lagi dengan sistem drainase yang buruk dan kualitas jalan menuju areal yang belum sempurna, maka ketika hujan datang, nampaklah genangan air yang telah bercampur dengan tanah. Itu belum cukup,  sarana transportasi yang kurang memadai benar-benar menghambat mobilitas dalam area SEA Games. Ditutupnya jembatan ampera  dengan mengalihkan ke penyeberangan sungai Musi juga membuat kalangan yang tidak terbiasa dengan sarana perahu menjadikan was-was, terlebih ketika hujan datang dan air sungai meluap. Ketidaknyamanan tersebut, bukan saja dialami oleh panitia, atlet dan official, tetapi juga masyarakat umum yang ingin menikmati suasana SEA Games. Terlebih bagi masyarakat Sumatera Selatan yang baru kali ini mendapat kehormatan menjadi tempat perhelatan skala internasional. Kekhawatiran yang wajar adalah, jangan-jangan tujuan memanfaatka event ini untuk mendongkrak citra Palembang dan menarik wisatawan asing kesana justru menjadi bumerang. Bukan rahasia lagi, bagi wartawan justru lebih senang menulis hal-hal kontroversi yang menurut mereka masuk kategori berita. Terlebih bagi para jurnalis negeri yang menyebut dirinya jiran, sedikit banyak ada sentimen, sehingga mereka akan mengeksploit hal-hal yang negatif. Bisa saja mereka akan segera melupakan kemegahan ceremonial pembukaan dan membesarkan hal-hal lain untuk memperkuat stigma sebagai SEA Games  terburuk. Ketidaknyamanan akibat hujan juga mengancam beberapa pertandingan di Jakarta. Ajang sepakbola di GBK misalnya, dengan guyuran hujan setiap hari dan pemakaian lapangan yang terus menerus menjadikan beberapa sudut lapangan agak mengelupas rumputnya. Itu mengakibatkan  lapangan licin yang menyulitkan permainan sekaligus mengancam cedera pemain. Di ajang dayung, adanya beberapa urukan tanah yang tidak sempurna benar-benar mengganggu kenyamanan. Kalau soal transportasi, jangankan saat SEA Games, hari-hari biasapun kemacetan sudah menjadi makanan sehari-hari warga Jakarta. Kita boleh saja berandai-andai, seharusnya panitia lebih serius menyiapkan event ini sehingga kemacetan tidak terjadi, meskipun usai acara ini kembali macet lagi. Kita juga boleh berharap, mestinya semua venue pertandingan selesai paling tidak enam bulan lalu, sehingga kita nyaman menikmati pertandingan tanpa di ganggu beberapa sudut yang belum selesai dan bau cat masih terasa. Juga dengan lanskap sudah nampak asri ijo royo-royo bukannya pemandangan seperti bekas tambang. Kita juga boleh berandai, mestinya panitia dan pemerintah lebih serius menyiapkan sarana transportasi yang memadai sehingga kenyamanan mobilitas dapat tercipta. Tapi ya sudahlah, lupakan  semua itu, kata orang medan “Ini Indonesia Bung”. Kasus korupsi wisma atlet dan hambalang di usut tuntas dan pelakunya semua dihukum tanpa kongkalikong pun kita sudah senang. Bagi masyarakat awam, hujan dapat saja diterima sebagai hujan yang merupakan kehendak alam dan ciptaan Tuhan. Tapi di zaman serba saintific dan kemajuan teknologi yang luar biasa, maka semua kehendak alam dapat direkayasa untuk membantu kemudahan manusia. Kalau hujan buatan bisa di datangkan tentu hujan yang datang pun dapat dicegah atau minimal ditunda sementara atau dialihkan ke tempat lain. So, kemana saja para ilmuwan dan teknolog kita yang sering memamerkan hasil penelitiannya itu? Bagi ilmuwan LIPI, BPPT, LAPAN, ITB, UI, UGM, dll,  tentu tidak sulit untuk merekayasa alam. Event ini sebenarnya dapat saja dimanfaatkan untuk memperlihatkan ketangguhan mereka kepada bangsa-bangsa lain. Mencegah hujan dalam dua minggu tentu tidak sulit sebagaimana mereka biasa membuat hujan buatan saat kemarau panjang. Tidak terlibatnya para ilmuwan menunjukkan juga bahwa selama ini sektor-sektor kebangsaan kita tidak nyambung, masing-masing jalan sendiri. Disinilah sebenarnya peran pemerintah; koordinasi, kooperasi, direksi. Kalaupun untuk menahan hujan membutuhkan biaya besar, maka masih ada alternatif solusi, yaitu  pengerahan pawang hujan. Ini mungkin masih kontroversi, ada yang percaya ada yang tidak. Saya sendiri termasuk yang ragu. Namun beberapa waktu lampau ketika marak demonstrasi besar ke  istana,  meskipun sedang musim kemarau, tempat berlangsungnya demo terjadi hujan lebat. Konon hujan itu merupakan ulah para pawang hujan yang disewa pihak tertentu untuk menggagalkan aksi demontrasi. Entah benar entah tidak, tapi memang itu yang terjadi.  Demikian juga ketika ada event-event besar, panitia  sering menyelipkan pawang hujan sebagai antisipasi. Kadang berhasil kadang tidak. Nah, apakah panitia SEA Games kali ini juga sudah melibatkan para pawang hujan, dukun, paranormal, orang pintar, atau apalah namanya untuk menghentikan hujan sementara sampai perhelatan SEA Games usai? Kalaupun sudah tetapi tetap saja hujan….. namanya juga paranormal cari makan. Namun kalaupun panitia tidak melibatkan  orang-orang yang merasa sakti itu, mestinya mereka juga harus berinisiatif untuk melibatkan diri baik diminta ataupun tidak, karena ini menyangkut kepentingan bangsa dan negara. Kalau mereka merasa orang Indonesia mereka juga harus punya tanggung jawab untuk berjuang bersama dengan keahliannya, perdukunan. Di tv, koran, radio dalam berbagai program acara banyak sekali “orang-orang” sakti itu memamerkan kemampuannya, bahkan seperti joko bodo membuat acara sendiri dan memasang iklan yang tentunya dengan beaya mahal untuk meluaskan pasarnya. Bahkan dengan profesinya tersebut dia dan beberapa dukun lain banyak menjadi tajir karenanya. Dengan kekayaan yang diperolehnya dengan berbagai cara tersebut, tidak akan rugi bila mereka sedikit menyisihkan waktu untuk “mantra-mantra” tolak hujan, meskipun tanpa dibayar. Terlebih itu dilakukan demi kepentingan bangsa. Intinya dukun pun perlu nasionalisme. Bahkan dengan memamerkan kemampuannya itu dalam ajang sebesar SEA Games, mereka mempunyai peluang untuk go internasional dengan meluaskan pasar perdukunan ke berbagai negara. Siapa  tahu banyak negara yang masih bermental ‘udik’ membutuhkan paranormal kita untuk beberapa kepentingan. Tetapi tentunya mereka harus mengokohkan diri dulu sebagai dukun sakti di tanah air yang berjiwa patriot dan nasionalis, itu bisa diawali dengan menghentikan hujan selama perhelatan SEA Games. Kata dukun, “wani piro???” (Misbach Ipul Zakaria)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun