Harian Serambi Indonesia, 4 September 2013
SETELAH beberapa kali mendapat teguran serta sindiran dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi, akhirnya anggota Komisi F DRPA pada 28 Agustus 2013 lalu, mulai melaksanakan rapat dengar pendapat umum (RDPU) Rancangan Qanun (Raqan) Kesejahteraan Sosial. Meski terbilang kesiangan, ini merupakan langkah tepat yang dilakukan DPRA sebagai tindakan konkret untuk meningkatkan kesejateraan rakyat Aceh, setelah sekian lama merasakan hidup dalam kesengsaraan akibat bencana alam dan sosial.
Walaupun tak seheboh Qanun Bendera dan Lambang Aceh, serta Qanun Lembaga Wali Nanggroe, namun pembahasan Raqan Kesejahteraan sosial diyakini jauh lebih urgent. Jika kesejahteraan yang merupakan kebutuhan dasar semua masyarakat Aceh, sedangkan bendera, lambang, dan lembaga wali nanggroe merupakan ‘gensi politik’ bagi Pemerintah Aceh, maka kondisi Aceh saat ini tak ubah ibarat seorang manusia yang sedang sangat lapar tapi memilih berbelanja pakaian baru untuk gaya dan kemewahan, ketimbang membeli beras sebagai kebutuhan pokok. Ini merupakan suatu tindakan salah jep ubat (baca: kurang tepat) dalam membangun Aceh yang pro-rakyat.
Kesejahteraan sosial
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara nasional telah mendapat jaminan dari Negara dalam UU No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Secara khusus, Aceh punya keistimewaan tersendiri dengan adanya Qanun (perda) tentang Kesejahteraan Sosial sebagaimana diamanatkan dalam MoU Helsinki dan UUPA. Dengan demikian, kiranya qanun tersebut dapat menjamin kesejahteraan sosial masyarakat Aceh secara kolektif, konkret, dan berkelanjutan. Qanun ini harus benar-benar menjadi tanggung jawab eksekutif untuk menjalankannya, bukan sekadar ‘bahan dagangan’ dan pencitraan.
Dalam Ilmu Kesejahteraan Sosial, ada dua target yang harus dibenahi untuk mewujudkan kesejahteraan sosial: Pertama, meminimalisir masalah sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, KDRT, masalah kesehatan, pendidikan, dan lain-lain; dan kedua, memberi pelayanan (service) kepada penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), seperti penyandang cacat (disable), gelandangan, pengemis, korban penyalahgunaan NAPZA, ODHA, lansia, wanita rawan sosial ekonomi, dan lain-lain.
Untuk membenahi masalah sosial, pemerintah harus menyediakan berbagai program pembangunan sosial yang sistemik. Dan untuk menangani PMKS pemerintah wajib memberikan pelayanan sosial secara klinis. Sehingga cita-cita mewujudkan kesejahteraan sosial benar-benar dibarengi oleh tindakan yang nyata.
Kategori rakyat sejahtera (people welfare) adalah jika masyarakat telah terpenuhi kebutuhan dasar; sandang, papan, dan pangan. Dan wujud dari kesejahteraan sosial, apabila rakyat telah terpenuhi kebutuhan dasar serta mampu menjalankan fungsi sosial secara fisik, mental, dan lingkungan. Untuk mencapai kondisi tersebut pemerintah harus malakukan peningkatan program-program pembangunan sosial yang berimplikasi pada kemandirian masyarakat.
Pembangunan sosial
Menurut UN-ESCAPE, pembangunan sosial pada dasarnya dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup manusia melalui upaya-upaya untuk mengangkat manusia dari keterbelakangan menuju kesejahteraan. Prioritas pembangunan sosial mengarah kepada program peningkatan pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan lapangan kerja, asuransi korban konflik, pemberian jaminan hari tua bagi lanjut usia, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat gampong.
Sejatinya pembangunan itu harus dilengkapi oleh tiga pilar, yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan. Namun dalam pelaksanaannya, sosial dan lingkungan lebih sering dikorbankan demi kepentingan ekonomi, tentu tak terlepas dari pengaruh virus kapitalisme yang menyebar dalam setiap kebijakan pembangunan.
Pembangunan Aceh, 8 tahun pasca-perdamaian telah tumbuh dengan sangat pesat, terutama pembangunan infrastruktur. Sedangkan pembangunan sosial hanya sedikit yang mampu diakses masyarakat. Contoh konkrit pembangunan sosial dalam konteks lokal Aceh itu seperti Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), bantuan beasiswa pendidikan, bantuan pendidikan dayah, program ADG. Di skala nasional ada program PNPM-Mandiri, Program Keluarga Harapan (PKH), Jamkesmas, bantuan dana BOS, dan program pemberdayaan masyarakat pedesaan.
Saat ini, pembangunan infrastruktur di Aceh telah menduduki tingkatan klimaks, maka pembangunan sosial dituntut untuk menyimbangi pembangunan fisik tersebut. Pembangunan fisik tanpa diimbangi pembangunan sosial ibarat tubuh tanpa ruh. Seperti pembangunan (fisik) rumah sakit tanpa program jaminan kesehatan, pembangunan (fisik) sekolah tanpa mutu dan kualitas pendidikan yang tinggi. Hakikatnya, pembangunan itu harus berdasarkan quality oriented, bukan semata project oriented.
Sehingga, tujuan akhir (destination) dari pembangunan sosial kiranya mampu mendongkrak perekonomian Aceh serta terwujudnya masyarakat yang sehat, berpendidikan, dan bermartabat. Dalam sebuah slogan populer disebutkan: “pembangunan sosial dan pembangunan ekonomi ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan”. Keduanya saling mempengaruhi.
Pekerja sosial
Pekerja sosial (peksos) merupakan salah satu profesi yang bertanggung jawab atas terlaksana kesejahteraan sosial. Seorang peksos, ia harus seseorang yang telah memiliki dasar pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai pekerjaan sosial yang bertujuan untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial (social welfare service).
Untuk memaksimalkan penyelenggaraan qanun kesejahteraan sosial di Aceh, kiranya pemerintah Aceh harus meningkatkan keterlibatan peksos professional di dalamnya. Dengan keterlibatan profesi tersebut, kiranya mereka mampu memberikan kontribusi konkrit dalam menuntaskan masalah sosial dan PMKS secara sistemik dan klinik. Kini beberapa peksos telah terdistribusi di berbagai instansi pemerintah dan swasta, namun nominalnya masih sedikit. Padahal mereka punya tupoksi yang sangat strategis untuk membangun Aceh berbasis kesejahteraan sosial.
Ke depan, keterlibatan pekerja sosial dalam program-program pembangunan sosial kiranya semakin banyak, seperti yang diterapkan oleh negara-negara Eropa. Sehingga masyarakat mampu merasakan secara langsung pelayanan sosial dari tenaga ahli yang memiliki social welfare service skill. Seperti perlunya keterlibatan pekerja sosial dalam program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) di rumah sakit sebagai pemberi pelayanan psikososial terhadap pasien dan keluarganya. Serta di berbagai pelayanan sosial lainnya.
Selain program JKA, satu program jaminan sosial yang telah berjalan di Aceh, tentu masyarakat juga mengharapkan adanya jaminan-jaminan sosial lainnya dari pemerintahan ‘Zikir’ (2012-2017). Semisal jaminan pendidikan, kesehatan yang lebih efektif, jaminan pekerjaan, asuransi masa tua, dan jaminan keamanan.
Oleh karena itu, kiranya DPRA dan Pemerintah Aceh segera menuntaskan Raqan Kesejahteraan Sosial. Karena qanun tersebut merupakan hadiah teristimewa bagi masyarakat Aceh di saat kondisi nanggroe serba ‘kekeringan’. Dengan adanya kebijakan pro-rakyat tersebut, semoga masa depan Aceh segera menemukan kejayaan dan kemerdekaan yang sejati. Semoga!
* Mirza Fanzikri, S.Sos.I, Alumnus Konsentrasi Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.