Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

'TKI on Sale' Menantang Aceh

6 September 2013   16:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:16 243 0
Oleh : Mirza Fanzikri

Harian Serambi Indonesia, 3 November 2012



INDONESIA kembali dikejutkan dengan satu berita yang tidak mengenakkan dari negeri jiran, Malaysia. Satu iklan lepas dengan judul “TKI on Sale”, yang menawarkan jasa pembantu Indonesia dengan diskon 40%, tersebar dan ditempel di ruang publik, di sejumlah tempat di Kuala Lumpur. “Indonesian maids now on sale. Fast and easy application. Now your housework and cooking come easy. You can rest and relax. Deposit only RM 3,500 price RM 7,500 net,” demikian tulisan dalam iklan tersebut (vivanews.com).

Merespons berita di atas, berbagai tanggapan dari politisi, birokrasi, aktivis, hingga akademisi ikut mewarnai media massa lokal dan nasional. Menanggapi pelecehan bangsa Indonesia. Tak berhenti di situ, aksi protes pun mencuat di berbagai persimpangan jalan. Serta surat menyurat berlangsung secara diplomatis memrotes iklan yang dianggap sebagai penghinaan tersebut.

Jika dikaji dari legalitas, iklan tersebut tidak mendapatkan izin dari pemerintah Malaysia, artinya illegal. Berbagai pihak dari negeri seberang juga mengecam atas tindakan itu. Ini dinilai sebagai kemunduran peradaban dan pelecehan martabat sebuah bangsa. Seperti peristiwa yang pernah terjadi di Amerika, di saat kaum kulit hitam dianggap sebagai barang dagangan. Sangat bertetangan dengan nilai-nilai kemanusiaan di tengah dunia yang sedang medengung-dengungkan penegakan HAM.

Positif dan negatif

Sebagai warga negara Indonesia, tentu kita punya persepsi yang berbeda-beda, ada positif dan negatif. Jika menyikapinya dengan sikap aneuk miet (baca: kurang dewasa), maka kita akan berfokus pada bagaimana membalas hinaan tersebut. Bahkan sampai aksi baikot mebaikot antara kedua negara. Namun, jika menanggapinya dengan pikiran dewasa dan positif, maka iklan tersebut menjadi sebuah sentilan dan tantangan bagi Indonesia, terutama Aceh, untuk berhenti mengekspor TKI dan menukarnya dengan mengekspor produksi pangan seperti beras, coklat, kopi dan lain-lain.

Aceh merupakan satu daerah yang banyak masyarakatnya menjadi TKI di Malaysia, baik legal maupun illegal. Di samping letak wilayah yang relatif dekat dan nilai mata uang lebih tinggi dibanding Indonesia, pun banyak warga Aceh yang familinya menetap di sana. Beberapa faktor itu yang menjadi pertimbangan lebih memilih menjadi TKI di negeri menara kembar tersebut. Selain itu, hal yang sangat ‘memaksakan’ masyarakat Aceh untuk hijrah ke Malaysia adalah terbatasnya lapangan kerja di bumi endatu dan semakin mendongkrak angka pengangguran dari tahun ke tahun.

Informasi terkini, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2012, pengangguran di Aceh semakin melonjak mencapai 164.400 orang. Pertumbuhan ekonomi di Aceh hanya mampu mencapai 5,11%. Suatu persentase angka yang jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional, yaitu mencapai 6,3% (IDEAS, 8 Mei 2012).

Fakta ini membuktikan Aceh masih berjalan di tempat, bahkan lebih mundur di bidang penyediaan lapangan kerja. Pengangguran lulusan perguruan tinggi (PT) semakin meningkat pascawisuda mahasiswa yang lulus pada pertengahan 2012 lalu di berbagai PT di Aceh. Lulusan PT semakin banyak dan keran CPNS, sebagai penampung tenaga kerja terbesar, belum dibuka. Fenomena ini tentu akan berimplikasi pada tingginya angka pengangguran dan persaingan memperoleh kesempatan kerja.

Jika kurangnya perhatian pemerintah Aceh akan penyediaan lapangan kerja terhadap masyarakat, terutama yang lulusan perguruan tinggi, ke depan motivasi masyarakat dalam bidang pendidikan akan melemah. Masyarakat semakin terbelakang dan bodoh dalam hal ilmu pengetahuan. Kualitas sumber daya manusia (SDM) akan semakin rendah. Hal tersebut akan menjadi indikator kemunduran Aceh yang mesti dipertanggungjawabkan oleh segenap pemimpin dan masyarakat Aceh sendiri.

Meminimalisir pengangguran

Untuk meminimalisir pengangguran di Aceh, di samping mengoptimalkan distribusi tenaga kerja lokal terhadap industri-industri pertambangan yang ada di Aceh, kiranya pemerintah juga berupaya menghadirkan investor untuk memproduksi berbagai kebutuhan global seperti kopi, coklat, kelapa, dan lain-lain. Berbagai komoditi yang terdapat di Aceh harus mampu diolah menjadi barang jadi dan siap dipasarkan di dalam dan luar negeri.

Setelah adanya berbagai industri di Aceh, secara kebijakan pemerintah harus menjamin serapan tenaga kerja dari masyarakat Aceh minimal 50% di setiap industri. Sebelum mengundang investor, tentu yang perlu diperhatikan adalah keamanan dan kepastian hukum. Jika keduanya terlaksana, kiranya menjadi sebuah solusi untuk meminimalisir pengiriman TKI Aceh ke luar negeri.

Selanjutnya, bagi para remaja yang putus sekolah kiranya dapat diberdayakan skill (kemampuan, bakat dan minat), pengetahuan, dan moralitas melalui program-program pemberdayaan tingkat kecamatan hingga provinsi.

Penulis pernah case study pada Rumah Sejahtera Darussa’dah di kawasan Lampeunurut, Aceh Besar. Di lembaga itu ada sebuah program pembinaan terhadap remaja putus sekolah, yaitu Program Sejahtera Bina Remaja. Peserta program ini direkrut dari berbagai gampong di pelosok Aceh. Setelah mendapat pembinaan skill, pengetahuan, dan moralitas sesuai bakat dan minat, peserta difasilitasi oleh pihak lembaga untuk mendapatkan pekerjaan di berbagai usaha.

Mestinya, Pemerintah Aceh mendukung sepenuhnya kegiatan-kegiatan seperti itu. Karena, saya pikir program seperti ini sangat bagus dan merupakan aksi solutif. Kiranya program ini akan berkembang hingga tiap-tiap kecamatan di Aceh, dan menjadi program unggulan pemerintah Aceh saat ini. Layaknya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang dilaksanakan pemerintah pusat sekarang.

Mental wirausaha

Selain itu, pemerintah juga dapat mengarahkan sebagian masyarakat, terutama pemuda, untuk berwirausaha. Ini dapat dilakukan dengan pembentukan mental wirausaha bagi pemuda dan mahasiswa melalui seminar, workshop, training dan mata kuliah di kampus-kampus. Terkait hal ini, pemerintah juga harus mendukung dan memberikan modal usaha kepada yang ingin berwirausaha dengan kriteria dan syarat-syarat tertentu. Dengan tujuan untuk kemandirian masyarakat.

Dengan adaya berbagai upaya dari pemerintah Aceh untuk meminimalisir pengangguran, kiranya mental masyarakat Aceh untuk menjadi TKI semakin melemah. Ke depan, Aceh harus mempunyai lapangan kerja yang sanggup menampung masyarakat Aceh regenerasi dan mampu mencetak SDM yang berkualitas serta bermental wirausaha. Sehingga TKI yang ‘diekspor’ dari Aceh semakin minim. Tantangan ini harus didukung oleh semua elemen masyarakat Aceh secara kolektif, dalam rangka mewujudkan Aceh yang mandiri, sejahtera dan bermartabat. Semoga!

Penulis adalah Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Banda Aceh biidang Kewirausahaan dan Pengembangan Profesi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun