Oleh Mirza Fanzikri
http://gamna.org/pengumuman-juara-sayembara-menulis-gamna-suara-rakyat-aceh-2012.htm
Pasca diguncang oleh gempa dan tsunami pada akhir tahun 2004 silam, Aceh mengakhiri masa konflik dengan anugrah perdamaian melalui perundingan MoU Helsinki antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Bencana alam dan bencana sosial tersebut telah mengantarkan Aceh menjadi daerah yang tertinggal, baik dari akses infrastuktur maupun akses ekonomi-sosial. Setelah kedua bencana tersebut rmelanda bumi seuramoe mekah, pintu keistimewa Aceh kembali terbuka lebar, terutama pasca MoU yang mewariskan UUPA. Pembangunan, rehabilitasi dan rekonstruksi akibat gempa dan tsunami sudah berjalan dengan maksimal berkat dukungan masyarakat internasional dan pemerintah pusat yang berpusat di bawah pengelolaan Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh-Nias.
Kondisi tersebut di atas juga berimplikasi pada dunia politik Aceh yang semakin dinamis. Diawali dengan kesuksesan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) perdana pasca konflik pada tahun 2006, Aceh serasa telah mengirup nafas segar semisal memiliki harapan baru. Sehingga banyak program-program pembangunan telah dilaksanakan selama satu periode pemerintahan Irwandi-Nazar, baik pembangunan infrastruktur maupun pembangunan sosial. Mestinya pembangunan tersebut menjadi warisan dan tentunya butuh perbaikan ke arah peningkatan oleh pemimpin berikutnya.
Kini, Pilkada Aceh jilid II pun terlaksana dengan sukses. Pilkada 2012 memilih Zaini Abdullah-Muzakir Manaf sebagai pemimpin Aceh 5 tahun ke depan. Tentunya semua arah pembangunan akan sangat berpengaruh di tangan pemimpin harapan rakyat saat ini. Jika dulu pembangunan infrastruktur lebih dominan dan hampir pada tataran rampung di beberapa daerah, kiranya kini pembangunan sosial harus lebih mendapat perhatian khusus dari pemerintah Aceh. Karena pembangunan insfrastruktur tak akan mempunyai makna lebih jika tanpa diimbangi dengan pembangunan sosial.
Saat ini masa pembangunan infrastruktur telah menduduki tingkatan klimaks, maka oleh sebab itu pembangunan sosil dituntut untuk menyimbangi pembanguan fisik tersebut. Adapun arah pembangunan sosial dapat tersalurkan melalui peningkatan pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan lapangan kerja, asuransi korban konflik, pemberian jaminan hari tua bagi lanjut usia, dan yang terpenting peningkatan penerapan syariat Islam kaffah di Aceh.
Pembangunan Sosial
Untuk membangun Aceh secara menyeluruh, maka pembangunan infrstruktur harus terisi dengan program-program pembangunan sosial, sehingga dengan dilengkapi pembangunan sosial nilai pembangunan (infrastruktur) semakin berkualitas. Seperti pembangunan sebuah rumah sakit harus terisi dengan program-program pelayanan sosial-kesehatan yang optimal, semisal program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) atau Jamkeskin. Dimana rumah sakit merupakan insfratruktur dan program pelayanan kesehatan merupakan pembangunan sosial.
Dalam konteks Aceh, pembangunan sosial dapat disalurkan melalui program-program sosial kiranya dapat menebus cost social (biaya sosial) masyarakat Aceh akibat konflik dan bencana alam, seperti; pertama, bidang kesehatan. Program JKA telah berjalan genap dua tahun, sejak Juni 2010 lalu. Program yang dirintis oleh kepemimpinan Gubernur Aceh periode yang lalu mendapat perhatian positif dari masyarakat Aceh bahkan di luar Aceh. Secara konsep, program ini sangat memberikan manfaat bagi masyarakat Aceh dalam mengakses pelayanan kesehatan gratis, hanya dengan syarat memiliki kartu tanda penduduk (KTP) atau kartu keluarga (KK) asal Aceh.
Terkait pembangunan sosial, program JKA merupakan salah satu jaminan sosial di bidang kesehatan dan bagian dari upaya pembangunan sosial yang sangat menentukan kualitas sebuah infrastruktur, dalam konteks ini adalah rumah sakit. Selama ini, diketahui bahwa pelayanan JKA di rumah sakit banyak mendapatkan kritikan pedas dari masyarakat, seperti lambannya proses administrasi, keterbatasan ruang rawat inap, upah/gaji tenaga profesi pemberi layanan JKA yang sering tersendat-sendat, bahkan ada acara ‘mogok dokter’ di rumah sakit. Ironis, tapi inilah realita pelayanan kesehatan saat ini.
Dengan berbagai persoalan di atas, semoga pemerintah periode ini segera mensiasati upaya perbaikan sistem dan peningkatan pelayanan yang lebih baik. Bahkan jika dibutuhkan pemerintah dapat memfungsikan pekerja sosial sebagai tenaga rumah sakit dalam menangani kondisi psikososial pasien, menfasilitasi pengurusan jaminan kesehatan, dan upaya mewujudkan kesejahteraan sosial pasien dan keluarga di rumah sakit.
Kedua, bidang pendidikan. Program pendidikan yang sudah berjalan saat ini berupa beasiswa bagi anak-anak fakir miskin dan korban konflik, beasiswa bagi sejumlah mahasiswa Aceh dan juga beasiswa melanjutkan pendidikan gelar master (S2) ke dalam dan luar negeri bagi mahasiswa berprestasi. Program pendidikan tersebut merupakan program pembangunan sosial yang sangat bagus, terutama di bidang pendidikan.
Di samping harapan program beasiswa tersebut terus berlanjut, kiranya pemerintah ke depan juga memberikan perhatian khusus dalam peningkatan pelayanan pendidikan pada tenaga pelaksanaan pendidikan di Aceh, seperti meng-upgrade kemampuan tenaga pengajar melalui pelatihan-pelatihan keahlian dan profesi, memberikan penghargaan bagi sekolah dan perguruan tinggi yang berprestasi, baik swasta dan negeri, sehingga daya kompetitif antar sekolah atau perguruan tinggi semakin menonjol dan akan berefek pada meningkatnya mutu pendidikan yang lebih berkualitas.
Selain itu, hal yang terpenting adalah bagaimana pemerintah mampu menjamin biaya pendidikan gratis bagi pelajar dari tingkat SD, SMP, dan SMA setidaknya dari keluarga yang kurang mampu. Pembangunan sosial ini dapat digagas melalui program pendidikan gratis. Dengan lahirnya generasi baru yang berpendidikan, Aceh akan menikmati fase baru, Aceh yang lebih bermartabat. Karena kualitas birokrasi akan sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusia yang mengelola birokrasi, artinya suatu bangunan akan bermakna karena dapat difungsikan dengan baik oleh kemampuan manusia yang ada di dalamnya.
Ketiga, penyediaan lapangan kerja. Persoalan pengangguran sampai saat ini belum teratasi, apalagi pasca ditutup rekrutmen warga negara sebagai calon pegawai nageri sipil (CPNS) sampai 2013 nanti. Data pada Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penganggur di Aceh per Februari 2011 mencapai 171 ribu orang. Angka ini mengalami peningkatan cukup tinggi dibandingkan angka pengangguran per Agustus 2010 yang totalnya 162 ribu orang (harian-aceh.com/2011/05/06/). Masalah sosial ini semakin membuat jenuh dan depresi masyarakat, terutama bagi yang berorientasi penuh untuk PNS, apalagi yang baru menamatkan perguruan tinggi. Kegalauan masyarakat sepeti di atas harus segera dicari penawarnya, yaitu penyediaan lapangan kerja.
Penyediaan lapangan kerja dapat ditempuh dengan terlebih dahulu mempersiapkan jiwa mayarakat yang bermental mandiri. Hal ini penting, karena dari kepercayaan diri akan lahir kreatifitas melalui bakat dan minat yang dimiliki masing-masing individu, terutama generasi muda.
Setelah menumbuhkan mental mandiri melalui berbagai sosialisasi dan penyuluhan, kemudian upaya pengentasan pengangguran salah satunya dapat dimulai dari pengrekrutan pengangguran melalui kecamatan untuk dibina dan dilatih kemampuan berdasarkan bakat, minat dan keahlian individu masing-masing, sepeti menjahit, keahlian bengkel, elektronik, komputer, dan kewirausahaan. Kegiatan pelatihan ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan fasiltitas yang ada di kecamatan. Setelah masa pelatihan, peserta juga harus di-follow up dengan memberikan peminjaman modal usaha atau mendistribusikan pada lapangan kerja yang membutuhkan, sehingga mereka mendapatkan kehidupan yang mandiri.
Keempat, asuransi sosial kepada korban konflik dan lanjut usia (lansia). Masa konflik selama tiga dekade telah mengukir sejarah Aceh pada kondisi keterpurukan dan serba keterbelakangan —kondisi ekonomi, pembangunan, sosial, pendidikan, kesehatan, dan politik. Banyak korban yang kehilangan nyawa, harta, dan keluarga akibat perjuangan Aceh tersebut.
Dengan tidak bermaksud mengungkit luka lama, Aceh saat ini merupakan rahmat dari hasil perjuangan bangsa Aceh secara kolektif, terutama korban yang telah syahid dalam perperangan menuntut keadilan pusat. Secara psikologis, tragedi tersebut masih membekas lara pada setiap individu atau keluarga korban konflik dan masyarakat Aceh pada umumnya. Keadaan inilah yang mengharuskan pemerintah untuk memberikan keistimewaan asuransi sosial kepada korban konflik, dengan harapan akan sedikit menghapus kesedihan yang masih membekas.
Selain itu, masyarakat yang sedang menjalani masa tua atau disebut lansia juga harus menjadi prioritas keistimewaan dalam penyaluran asuransi sosial, terutama dari latar belakang kurang mampu dan tidak memiliki keluarga lagi. Kiranya dengan asuransi sosial tersebut menjadi nikmat bagi mereka dalam menempuh sisa hidupnya, hasil perdamaian Aceh yang telah lama diperjuangkan bersama.
Asuransi sosial dapat disalurkan melalui bantuan lansung tunai yang berupa uang atau sembako pada setiap bulannya. Asuransi sosial tersebut merupakan suatu bentuk pembangunan sosial dengan upaya meningkatkan kesejahteraan sosial dan kualitas hidup bagi masyarakat yang tidak berkecukupan dalam memenuhi kebutuhan dasar dan bagi yang mengalami keterbatasan fisik, mental, dan lingkungan.
Dari empat jenis dan upaya pembangunan sosial tersebut di atas, dalam UU nomor 6 tahun 1974 tentang kententuan-ketentuan pokok kesejahteraan sosial disebut juga dengan istilah jaminan sosial, yakni perwujudan dari pada sekuritas sosial adalah seluruh perlindungan dan pemeliharaan kesejahteraan sosial bagi warga Negara yang diselenggarakan oleh pemerintah dan / atau masyarakat guna memlihara taraf kesejahteraan sosial. Artinya semua upaya tersebut bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial
Ijtihad
Dalam konteks keistimewaan, Aceh telah mendapat anugrah untuk menyelenggarakan syari’at Islam seluas-luasnya di bawah wilayah NKRI sebagai butir aturan UUPA dari hasil kesepakatan MoU Helsinki. Kesempatan ini memang telah terlaksana dalam Pemerintahan Aceh, namun aplikasinya masih jauh panggang dari api.
Penerapan syari’at islam di Aceh saat ini hanya berfokus pada pengusutan pelanggaran-pelanggaran syari’at yang dilakukan oleh masyarakat, seperti pelanggaran berpakaian, khamar, maisir, dan mesum. Di samping itu, seharusnya upaya pembinaan moral syari’at secara universal juga harus lebih ditingkatkan, yaitu melalui pembinaan dan penyadaran moral islami kepada seluruh elemen masyarakat, baik tingkatan pelajar, pegawai, dan orang tua. Dengan bermodalkan moral islam pada setiap jiwa masyarakat, kiranya semua aspek pembangunan akan berjalan dalam ridha Ilahi.
Secara sederhana, upaya ini dapat dilakukan oleh pemerintah Aceh melalui mimbar-mimbar pidato dengan mengajak seluruh masyarakat berijtihad dengan berpedoman pada Al-Qur’an dan hadist. Artinya bekerja dan mengabdi untuk Aceh merupakan keharusan dengan rasa ikhlas dan suatu nilai ibadah kepada Allah SWT seperti yang tercantum dalam Al-qur’an. Sumber pemersatu masyarakat Aceh berasal dari sumber pemersatu umat muslim sedunia, yaitu sunnah, Al-qur’an dan hadist.
Seperti potongan firman Allah dalam surat Al-ma’idah ayat 2, Allah menganjurkan kita untuk saling tolong-menolong dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan melarang untuk tidak tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Pada akhir ayat, Allah memperingatkan kembali untuk bertaqwa kepada-Nya, karena sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Potongan ayat di atas semoga dapat mendokrinisasi masyarakat Aceh dalam membangun Aceh secara bersama-sama. Kiranya jika upaya ini terlaksana dengan baik, maka penerapan syari’at Islam secara kaffah menanti di gerbang kemakmuran. Setiap jiwa masyarakat akan berkontribusi positif dengan nilai kebajikan dalam membangun Aceh. Pembangunan sosial juga akan terlaksana dengan baik di bawah tangan-tangan penguasa yang ta’at hukum dan syari’at. Alangkah indahnya bangunan mewah terisi pembangunan sosial yang dioperasikan oleh jiwa-jiwa bersyari’at. Semoga Aceh ke depan semakin bermartabat. Semoga!![]
*Tulisan ini telah dicetak dalam Buku "Suara Rakyat Aceh 2012"
Penulis adalah mahasiswa Kosentrasi Kesejahteraan Sosial IAIN Atr-raniry dan Ketua HMI Cabang Banda Aceh bidang KPP.