Tak disangka, bahasa yang marak dijejaring sosial macam Facebook dan Twitter ini ternyata begitu buming akhir-akhir ini. Tak mau kalah dengan Bahasa Indonesia dan Inggris, Bahasa Alay pun kini sudah tersusun rapi dalam bentuk kamus. Mencarinya pun tidak begitu sulit. Bahkan, karena tidak adanya susunan baku, kata-katanya pun bisa diciptakan sendiri, asal orang yang diajak berkomunikasi bisa mengerti.
Saat ini, Bahasa Alay paling banyak digunakan sebagai bahasa SMS. Penggunaan bahasayang entah dari mana asalnya ini bertujuan untuk mengirit pulsa. Karena pesan yang seharusnya dikirim dua kali, bisa dipres menjadi satu kali. Di samping itu, perkembangan globalisasi yang "menuntut" anak muda selalu up date juga disinyalir menjadi salah satu penyebab pesatnya penyebaran "virus" alay. Nggak alay, nggak gaul!
Modifikasi bahasa dalam bentuk alay ternyata membawa sinyal ancaman serius terhadap Bahasa Indonesia. Sekaligus pertanda semakin merosotnya kemampuan berbahasa Indonesia di kalangan generasi muda. Padahal, di sekolah maupun tempat kerja menuntut penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tidak mungkin dalam ulangan, ujian, maupun menulis surat undangan untuk rapat menggunakan Bahasa Alay.
Saat ini, Bahasa Alay juga disebut-sebut sebagai pemicu rendahnya nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia dalam Ujian Nasional (UN). Banyak kasus ketidaklulusan siswa dalam menempuh UN disebabkan karena nilai Bahasa Indonesia jeblok, akibat sudah terbiasa menggunakan Bahasa Alay. Alih-alih kelihatan gaul dan modis, yang didapat justru ancaman terhadap etika berbahasa yang baik, baku, dan benar. Dengan demikian, jelas sudah jika virus Bahasa Alay kian mengancam penggunaan Bahasa Indoensia yang baik dan benar.
Menyikapi fenomena yang terjadi, generasi muda seharusnya bisa membentengi diri dalam menghadapi arus globalisasi. Gaul boleh, asal tidak melupakan tatanan bahasa yang telah baku. Demikian halnya dengan upaya mengirit biaya SMS. Irit bukan berarti pelit bahasa. Selagi dalam batas kewajaran, menggunakan bahasa singkatan tidak jadi masalah. Asalkan tidak menghancurkan tatanan bahasa secara keseluruhan. (*)