Ibu saya sangat suka menulis cerpen, cerber, dan novelette. Karyanya banyak dimuat di majalah wanita Kartini, Pertiwi, dan Femina, juga di Harian Umum Pikiran Rakyat, sekitar 40 lebih tulisannya yang pernah dimuat sekitar tahun 1985 sampai dengan 1995, sekarang juga masih menulis sesekali. Kalau lagi ingin.
Cerita ibu saya saat bertemu dengan Ahmad Tohari dan Korrie sering saya tanyakan berulang-ulang. Padahal ketemunya sih cuma sekali saja, dan ibu juga sudah banyak lupa apa pembicaraannya. Karena kalau bagi pengagumnya seperti saya ini, bertemu beliau-beliau tokoh sastra itu bagi saya seperti bertemu ABG ketemu artis sinetron idolanya. Saya sangat tertarik bertanya orangnya seperti apa, bilang apa, dan apakah ada tips-tips soal menulis sebuah tulisan. Dan kenapa tidak minta foto sekaligus tandatangan.
Mengenai Ahmad Tohari, ibu saya pernah bertemu di acara field day pertanian di Purwokerto di tahun 19988-1989, tepatnya lupa. Ibu saya bersama bapak saya dan rekan-rekan dari departemen pertanian sedang berkunjung kesana, dan karena Ahmad Tohari adalah tokoh masyarakat yang dihormati maka turut hadir pula dalam acara tersebut. Ibu saya yang orang Sunda asli, keheranan kenapa mendoan itu tempe yang tepungnya tidak digoreng sampai kering, sempat duduk bersama Ahmad Tohari. Ibu saya mencatat betapa bersahajanya pengarang trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, kecintaannya dalam menulis tidak tersembunyikan, dan dia bercerita baru saja mendapat penghargaan atas sastra dan kebahagiaannya terbaca walau dari ucapan-ucapan yang sederhana dan rendah hati.
Sedangkan Korrie Layung Rampan, ibu pernah bertemu di acara yang diselenggarakan oleh majalah Sarinah di Jakarta, ibu banyak bertemu penulis-penulis terkenal lainnya V.Lestari dan Marga T. Mengenai Korrie Layung Rampan, ibu tadinya menyangka dari asumsi terhadap nama, nama Korrie disangka wanita ternyata pria, dan Marga T yang disangka pria ternyata wanita. Ah ibu memang sok tahu, ujar saya waktu itu mendengar ceritanya.
Terutama yang sering saya tanyakan kepada ibu, karena ibu adalah penulis dan pernah bertemu penulis besar, adalah tips bagaimana tersebut menulis. Tapi kata ibu saya, persamaan para penulis besar yang pernah ditemuinya tersebut adalah sangat rendah hati jadi tidak pernah berpetuah soal cara-cara menulis dan tips and trik how to -nya. Tapi saya juga curiga kalau ibu saya terlalu pemalu sehingga tidak sempat tanya-tanya.
Namun saya perhatikan sendiri bagaimana ibu saya mendapat ide dalam menulis. Sepertinya memang tidak ada trik maupun tips. Kadang menulis saat tengah malam kalau tidak bisa tidur, yang ditulis adalah cerita misteri dan hantu, padahal ibu penakut. Tentu saja kami yang repot karena semua dibangunkan untuk menemani. Katanya sih takut sendiri. Kadang ibu menulis sambil nonton TV, menggunakan buku tulis bergaris bekas adik saya yang tidak terpakai, tulisannya dengan pinsil, sangat miring dan tak terbaca (hanya ibu sendiri yang bisa baca dan mengerti), lalu ibu pindahkan ke komputer.
Yang saya perhatikan, baik tentang ibu maupun penulis besar lain yang ibu kenal, adalah mereka menulis dengan ikhlas. Kalau sampai mendapat penghargaan itu adalah hasil dari suatu proses. Bukan tujuan utama. Yang penting menulis dengan baik, dengan kreatif, dengan orisinil, dengan pesan, dengan gaya tersendiri. Ibu saya sering juga mendapat honor dari menulis. Tapi kalau sampai taraf dimuat tanpa imbalan pun ibu tidak pernah menyerapah. Baginya menulis adalah curahan ide dan pemikiran, juga khayalan yang tersalurkan, karena ibu adalah pengarang fiksi
Saya teringat quote dari W Somerset Maugham seorang novelis, cerpenis dan dramawan dari Inggris ((25 January 1874 – 16 December 1965) yang pada era tahun 1930-an terkenal dan tercatat sebagai penulis dengan bayaran tertinggi.
There are three rules for writing the novel. Unfortunately, no one knows what they are.