Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Membidik Peluang Investasi : Pembangunan Ekonomi Informal di Kawasan Kaki Jembatan Suramadu Sisi Madura

9 Januari 2012   14:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:07 351 0


Kota telah menjadi tempat terjadinya marjinalisasi masyarakat pinggiran yang tidak dapat diserap di sektor formal-modern. Kenyataan bahwa ekonomi informal perkotaan mempengaruhi wujud dan kehidupan kota tidak dapat dipungkiri lagi. William House (2003) berdasarkan data BPS menunjukkan kurang lebih 67% pekerja berada di ekonomi informal. Sakernas 2002 bahkan menyatakan bahwa dari 2,5 juta tenaga kerja baru yang muncul pertahun hanya satu juta yang terserap oleh ekonomi formal (Kompas, 4 April 2004).

Konsep ekonomi informal perkotaan dikenal pada dasawarsa 1970-an ketika para pengamat awal masih menyebutnya “sektor informal” (ILO 1972, Hart 1973, Sethuraman 1976, Bromley, ed.1979). Mereka melihat “sektor informal” sebagai suatu bidang kegiatan ekonomi dengan ciri – ciri mudah dimasuki, tergantung sumberdaya sekitar (indigeneous), kepemilikan usaha oleh keluarga, skala operasi kecil, padat karya dengan teknologi yang disesuaikan (adapted), keterampilan diperoleh di luar pendidikan formal (pengalaman, pemagangan atau belajar sendiri) serta pasar yang tidak diatur dan sangat kompetitif. Karakter lain kegiatan ekonomi informal adalah mobilitas tinggi dan menjadi salah satu kunci survival mereka (misalnya jika digusur di suatu tempat akan segera pindah ke tempat lain). Permasalahan terkait dengan ekonomi informal dikelompokkan dalam tiga tataran permasalahan berbeda (Wicaksono Sarosa, 2011:239). Pertama, pada tataran praktis seperti masalah alokasi ruang, keamanan, akses kredit atau sumber pendanaan. Kedua, pada tataran sistemik, seperti masalah ketiadaan atau kekurang konsistenan dukungan hukum dan kelembagaan terhadap ekonomi informal. Ketiga, pemahaman atau kepercayaan individu para pemangku kepentingan yang terkandang kemudian diteruskan menjadi pandangan lembaga.

Pasca beroperasinya Jembatan Suramadu memicu perkembangan fisik lingkungan sekitarnya, di sepanjang koridor jalan utama tumbuh kegiatan perdagangan dan jasa skala lokal berupa warung – warung non permanen yang tidak teratur dan terkesan kumuh. Jumlah pedagang kaki lima (PKL) yang memanfaatkan Kawasan Kaki Jembatan Suramadu Sisi Madura (KKJSM) fluktuatif. Nyaris setiap hari selalu ada PKL baru, tapi setiap hari juga ada pedagang meninggalkan lapak mereka karena keuntungan yang diperoleh tak sesuai dengan modal yang mereka keluarkan. Data terakhir Pemkab Bangkalan pada tahun 2010, kurang lebih ada 800 PKL di KKJSM (BPWS, 20 Juli 2011). Pemerintah berencana membangun rest area di lahan seluas 40 hektar dengan kucuran dana APBN Rp 200 miliar yang ditargetkan tuntas pada tahun 2012. Kompleks rest area meliputipembangunan Islamic Centre, miniatur produk unggulan empat kabupaten di Madura, serta sebagai langkah “formalisasi” aktivitas ekonomi informal sepanjang koridor KKJSM, pembangunan rest area juga akan menampung pedagang kaki lima (PKL) sebanyak 900 orang terseleksi. Hal ini selaras dengan yang disampaikan Portes (1989) bahwa pemerintah kota harus mampu menciptakan lingkungan dimana peluang-peluang kewirausahaan dan peningkatan kesejahteraan dapat digapai bahkan oleh mereka yang sumberdayanya paling terbatas sekalipun. Pemerintah kota harus dapat lepas dari kungkungan pandangan bahwa pelaku ekonomi informal adalah mereka yang “tidak legal” dan “penghindar pajak”.

Penyelenggaraan kota tidak lagi dapat terpaku pada kemampuan dari APBD saja, tetapi perlu mengembangkan kerjasama dimana ada keterlibatan masyarakat maupun badan swasta utamanya dalam pembangunan prasarana dan sarana yang memerlukan investasi besar dan memberikan penerimaan (revenue generating) (Samiadji, 2011:248). Ada banyak skim (scheme) kerjasama yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk menjaring investasi, diantaranya adalah dengan konsep CSR (Corporate Social Responsibility) serta Estate Management. CSR adalah kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet) secara berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yang tepat dan profesional (Suharto, 2008). Di tanah air debut CSR diperkuat oleh Undang – Undang tentang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 dan Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Kegiatan CSR yang dilakukan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat berdasarkan needs assessment. Mulai dari pengembangan masyarakat (community development), pembangunan fasilitas pendidikan dan kesehatan, pemberian pinjaman modal bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), penguatan kearifan lokal, pengembangan skema perlindungan sosial berbasis masyarakat dan seterusnya. CSR pada tataran ini tidak sekadar do good dan to look good, melainkan pula to make good, menciptakan kebaikan atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Estate Management merupakan skim yang berdasarkan rencana tata ruang kota bahwa kawasan – kawasan tertentu di kota akan dibangun untuk fungsi tertentu, seperti halnya rencana pembangunan rest area di KKJSM yang akan menampung PKL. Selanjutnya pihak Pemerintah/Daerah menawarkan kepada swasta untuk membangun fungsi yang dimaksud sesuai dengan rencana tata ruang, selanjutnya mengkomersialkan.

Pemerintah daerah harus bekerjasama dengan pemangku kepentingan lainnya serta pihak – pihak yang dapat mendukung secara finansial (swasta, pemerintah pusat atau lembaga donor) atau yang dapat mendampingi pemerintah daerah dari segi teknis (perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat maupun lembaga intermediary lainnya). Dengan demikian bukan saja potensi dari berbagai pihak dapat dikombinasikan untuk kepentingan bersama maupun masing – masing pihak, namun yang lebih penting lagi tercipta suatu kondisi dimana semua pihak termasuk yang paling miskin sekalipun dapat memanfaatkan potensi untuk mengembangkan kesejahteraannya tanpa merugikan pihak – pihak lain maupun publik secara umum.











Sumber :

Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21, Konsep dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan di Indonesia-Edisi 2. URDI-YSS. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Jakarta. 2011.

Nurmandi, Achmad. Manajemen Perkotaan, aktor, Organisasi dan Pengelolaan Daerah Perkotaan di Indonesia. Lingkaran Bangsa. Yogyakarta. 1999.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun