Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Menteri Harus Bebas Belenggu Parpol

26 Agustus 2014   18:53 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:30 59 0


Presiden terpilih Joko Widodo mewacanakan para menteri melepaskan jabatan sebagai pengurus Partai Politik (Parpol). Alasannya bisa jadi sangat sederhana dan praktis yaitu agar  kader Parpol dapat berkonsentrasi menjalankan tugas sebagai menteri. Fokus menyelesaikan tugas   melayani kepentingan rakyat tanpa perlu direcoki tugas kepartaian.


Semua Parpol pendukung Jokowi kecuali beberapa pengurus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memberikan respon positif. Mereka setuju dan menganggap gagasan Jokowi cukup masuk akal agar tugas berat menteri diharapkan tak terganggu. Dengan tanpa merangkap jabatan saja,   menjadi menteri  memiliki tugas sangat berat dalam menyelesaikan pelbagai persoalan bangsa dan negara. Apalagi jika konsentrasi kerja harus terpecah mengurus partai tempat berasal.


Gagasan Jokowi ini sebenarnya jika dicermati disamping akan membuat seorang menteri bisa fokus dengan tugasnya, secara personal dapat melepaskan beban kader partai bersangkutan dari gangguan kepentingan partai. Ia tak lagi perlu khawatir diganduli partai terkait mengurus dan membantu amunisi partai. Sebuah ruang kemungkinan terjadinya praktek korupsi dengan sendirinya sebagian ditutup.


Lantas apa sebenarnya yang melatar belakangi keberatan melepas jabatan di Parpol itu? Sulit mungkin dipahami. Namun agaknya jawaban yang paling masuk akal  kemungkinan  kekhawatiran kader tersebut kehilangan kekuatan mengendalikan partainya. Itu artinya ketika tak memiliki kekuasaan di internal partai sangat mungkin muncul katakanlah kebijakan baru dari partai bersangkutan untuk menariknya dari jabatan menteri. Jadi jabatan di partai  dianggap penting menjadi semacam jaring pengaman jabatan menteri.


Kekhawatiran itu tentu perlu mendapat garansi dari Presiden terpilih bahwa jabatan menteri sepenuhnya memang merupakan hak prerogratif Presiden. Jadi seorang menteri yang berlatar belakang dari Parpol kecuali karena memang kinerjanya buruk, tak akan diganti atas dasar permintaan dari Parpol.


Lalu bagaimana Presiden terpilih dapat memperlancar dan memperkuat dukungan DPR jika para menterinya sama sekali tak memiliki kekuatan pengendali di Parpol? Bukankah DPR merupakan kepanjangan tangan Parpol  sehingga diperlukan untuk mendukung kebijakan Presiden?


Presiden memang memerlukan dukungan DPR, yang merupakan kepanjangan tangan Parpol. Ini artinya Presiden memerlukan kekuatan komunikasi dengan Parpol untuk dapat mengamankan kebijakannya di DPR.


Secara fatsun politik anggota DPR dari Parpol yang kadernya duduk menjabat menteri seharusnya memberikan dukungan pada kebijakan Presiden (Pemerintah). Bagaimanapun ada ikatan dukungan terpilihnya seorang Presiden dari Parpol tersebut. Di sinilah perlu dibangun tradisi dan fatsun politik sehat sehingga tidak merebak dualisme sikap politik sebagaimana terjadi pada periode kepemimpinan SBY; ada partai yang kadernya duduk dalam kabinet namun mengambil sikap berbeda dengan pemerintah. Mau enaknya tak mau pahitnya.


Intinya, ide Jokowi lebih pada upaya mengefektivkan kinerja seorang menteri; agar konsentrasi kerja menteri tak terganggu. Tentu semuanya dapat berkembang baik bila ada konsistensi sikap dari Presiden serta terbangunnya fatsun dan kultur politik dari Parpol. Jika memang mendukung dan  kader partai menempati posisi sebagai menteri, walaupun sudah melepaskan jabatan sebagai pengurus partai, bagaiamanapun sang menteri tetaplah kader partai, representasi partai yang berkontribusi  untuk bangsa ini.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun