Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Melebur dalam "Momentum Keseharian"

4 Desember 2019   22:03 Diperbarui: 4 Desember 2019   22:09 42 1
Suatu waktu saya jongkok di depan sebuah bangunan yang belum jadi di pusat Kota Jakarta. Saya bingung, jujur saja ketika itu. Alasannya, sepulang kerja tiba-tiba sebuah perasaan kosong serta merta menyerang.

Padahal, tidak ada yang perlu dikeluhkan hari itu. Saya menjalani rutinitas seperti biasa. Kondisi tempat kerja baik-baik saja, tidak ada drama. Bahkan bersama beberapa rekan saya tertawa-tawa. Pekerjaan pun saya selesaikan terbukti dengan mengalir derasnya ucapan terima kasih.

Namun, langit biru gelap dan papan reklame di beberapa pangkal gedung menjadi saksi, betapa saya dibuat lemas sekaligus cemas oleh sebuah blitzkrieg. Ada apa ini? Batin saya berkali-kali sambil terhuyung di antara berjubel orang yang bergegas.

Bunyi-bunyi klakson, pekikan abang ojol yang parau, dan denting sepeda "starling", kian membuat pusing. Hingga saya putuskan menepi dulu sambil memesan ojek online agar bisa segera pulang.

Memang apa yang diharapkan tidak melulu sesuai rencana. Ingin segera pulang dan langsung terkapar di kasur, saya malah dihadapkan dengan tarif yang sangat tinggi di aplikasi. Wah, kenapa lagi ini? Bisa-bisanya tarifnya dua kali lipat begini? Gerutu saya dalam hati.

Mohon maaf kalau terdengar norak. Buat saya yang cuma staf biasa dan seorang perantau yang harus bayar ini-itu di Jakarta, kenaikan tarif bisa sangat signifikan efeknya. Terlebih jika akhir bulan, berburu diskon dan promo sering menjadi obat mujarab untuk menghemat. Sialnya, hari itu benar-benar tidak ada diskon dan promo. Hadeuh.

Maka lengkaplah penderitaan saya. Tidak ada pilihan lain, saya harus menunggu sampai tarif menjadi normal. Sekira satu jam? Apa boleh buat. Alhasil, berjongkoklah saya di depan bangunan setengah jadi yang disinggung tadi.

Tetapi, aktivitas yang awalnya terpaksa ini tak disangka-sangka malah membuat pikiran saya lebih terbuka. Serangan mendadak yang membuat sekujur tubuh saya lemas, sedikit demi sedikit mulai terurai. Ditemani seduhan kopi di gelas plastik, saya menerawang jauh ke hari-hari yang telah lalu. Dan, voila! Mungkinkah serangan ini terjadi karena belakangan saya sangat cemas akan "kehabisan waktu".

Ya, kehabisan waktu. Hidup di area urban saya pikir berbeda sekali dengan masa hidup saya di perdesaan semasa kecil. Di sana waktu seakan berjalan lambat, dan itu masih saya rasakan hingga kini saat sesekali pulang mengunjungi orangtua di kampung halaman.

Embun yang menempel di daun-daun, kicau genit burung yang menimpali lenguh kerbau, ayam yang sejak subuh berkokok angkuh, membuat waktu begitu padat dan terasa bermakna. Dari jam 6 pagi sampai jam 12 siang seperti 12 jam kerja di Jakarta, dengan suasana yang lebih menenangkan dan menyenangkan pastinya

Ah, saya mungkin cuma terserang rasa kangen. Kalau kata Raisa terjebak nostalgia. Bisa ya, bisa juga tidak. Ya, karena semuanya itu bermula saat saya merasakan betapa waktu sudah tidak bersahabat lagi. Saya merasa dijajah oleh waktu mekanis yang mengatur saya jam segini harus melakukan ini, dan jam segitu harus melakukan itu. Dan tidak, sebab mungkin saya terlalu melankolis dan sentimentil dalam membandingkan antara kehidupan urban dan alam desa;

Saya takut waktu habis dalam transjakarta. Saya takut waktu tergerogoti oleh rutinitas. Oleh obrolan-obrolan yang kurang bermakna lantaran "ghibahin" artis dan rekan sekerja. Oleh pekerjaan kantor yang selalu padat hingga akhir pekan padahal keluarga pun butuh perhatian. Oleh hasrat berkarya yang membabi buta tapi takut deadline pekerjaan jadi terbengkalai.

Saya takut, saya takut, saya takut waktu saya tak cukup untuk membesarkan anak, membahagiakan keluarga, meminta maaf kepada teman-teman, membayar cicilan, dan berhedon-hedon ria .....

Langit Jakarta menghitam. Saya pandangi jalan yang sudah mulai lenggang lalu saya lemparkan senyum pada siapa saja. Tanpa dikira gayung bersambut. Beberapa membalas, meski tak sedikit pula diam dan menunduk. Namun itu pun sudah membuat saya lega.

Kopi yang tinggal seperempat gelas saya seruput. Saya bergegas memesan kembali layanan Grab Bike sebab biasanya satu jam setelah jam sibuk tarif akan kembali normal. Dan benarlah, tarif sudah ramah lagi di kantong. Tentu tak saya sia-siakan kesempatan ini.

Di sini perlu saya tegaskan, saya bukan tidak berpihak pada abang-abang driver Grab yang super ramah dan profesional. Namun sekali lagi, bagi saya yang perantau ini, tarif yang tinggi bisa menjadi krisis terutama saat "tanggal tua". Kalau di tanggal muda dan lagi ada rezeki lebih mah, saya terabas terus tak peduli jam sibuk atau tidak. Ke mana pun dan perlu apa pun saya nyaris selalu menggunakan semua layanan di #AplikasiUntukSemua Grab.

Lapar, tinggal pesan Grab Food. Pulsa habis, klik aja layanan token/pulsa. Kalau saya merasa kurang hiburan, saya bisa langsung memesan tiket untuk menonton film dan event dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, baru-baru ini di #AplikasiUntukSemua Grab pun kita pun bisa konsultasikan kesehatan  sekaligus mencari klinik terdekat yang bisa didatangi saat ingin berobat.

Satu hal lagi yang tak kalah penting, Grab #SelaluBisa mengakomodasi antara driver atau biasa disebut "mitra" dengan customer-nya dalam masalah tarif. Saya yakin sekali bahwa menaikkan tarif di jam-jam sibuk merupakan sebentuk keberpihakan Grab untuk mereka setidaknya untuk dua hal.

Pertama, menaikkan tarif di jam sibuk akan menghindarkan mitra dari kerugian akibat kemacetan dan kepadatan yang akan lebih banyak menghabiskan bensin, dengan waktu tempuh yang juga lebih lama.  

Kedua, menaikkan tarif juga berarti memberikan kesempatan kepada customer untuk lebih mengerti bahwa driver ojol juga adalah orang yang sedang mencari nafkah. Tidak ada salah dan ruginya kan di saat-saat tertentu kita berbagi rezeki dengan sesama.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun