Dengan demikian, sudah selayaknya mahasiswa membangun masyarakat dengan membenahi kekacauan yang ditinggalkan para “pengacau”. Mahasiswa harus mampu menjadi agent of change. Menata kembali infrastruktur sosial, membenahi pola pikir agar sejalan dengan perubahan dunia dengan peradabannya. Hal inilah yang disebut Cak Nur dengan pembaharuan seharusnya dipelopori oleh kaum terpelajar, salah satunya adalah mahasiswa.
Namun ironis ketika mahasiswa sebagai pendamping masyarakat justru malah jauh dari jangkauan masyarakat itu sendiri. Kesenjangan pengetahuan dan arogansi diri untuk sukses yang cenderung mengarah pada profit, membuat mereka berorientasi pada sektor-sektor ekonomi tertentu setelah menjadi sarjana. Kepekaan terhadap permasalahan sosial menjadi berkurang dan beralih menjadi kepekaan untuk memperkaya diri. Partner mereka, rakyat kecil, hanya menjadi alat produksi mereka demi mendapatkan keuntungan tanpa membangun dan mengembangkan kemampuan individu mereka. Berbondong-bondong mahasiswa mengambil kecendrungan industri dalam pembelajarannya dengan berpatokan pada predikatbusinessman sukses.
Entrepreneurship diartikan sebagai kiat-kiat khusus menjadi CEO atau businessman handal, tidak sedikitpun menyinggung mengenai solusi koordinasi ataupun manajerial masyarakat kelas bawah agar mereka terbebas dari kemiskinan. Manajerial tersebut dapat ditunjukkan pada aspek ekonomi maupun waktu. Masyarakat makin merasa jauh dengan mahasiswa dan mengartikan istilah tersebut sebagai kelompok elit yang tahu banyak hal serta kelompok yang akan menguasai sumber-sumber ekonomi di kemudian hari. Hal ini berbanding terbalik dengan pengertian mahasiswa sebagai pendamping masyarakat ke arah pembangunan. Lalu, kemanakah mahasiswa akan kembali pulang?