Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Ginseng Tea With Honey Drink

23 September 2010   20:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:01 82 0
Angin topan yang mengerikan. Suaranya begitu keras  pohon-pohon bergerak pasrah tertiup kesana kemari bahkan ada beberapa yang tumbang. Andai tak kehausan akupun enggan keluar kamar. Bagamana lagi aku juga belum makan malam. Seven-eleven(7-11) adalah alternatif yang paling tepat. Karena memang cuma mini market satu ini yang buka 24 jam disekitar rumah sakit tepatnya Chan Gung Memorial Hospital, Taipe. Salad dan orange jus ada ditanganku. Akupun siap-siap antri ke bagian kasir. Ada sekitar lima orang antri di depanku. Inilah enaknya hidup di Taiwan karena orang-orangnya selalu teratur memiliki rasa  disiplin yang lumayan tinggi. Satu orang berlalu, tinggal empat orang lagi…

Wah…angin semakin kencang, suaranya pun makin menyeramkan. Aku semakin enggan menyebrang karena sudah pasti aku basah kuyup. Payung tidak berguna sama sekali  karena akan rusak oleh terjangan angin. Aku berdiri mematung. Antara takut nenekku akan menangis karena aku tinggal sendirian di kamar inap yang ada di lantai 10. Sambil memasukan selang kedalam  mulutku aku mencoba untuk sabar menunggu barangkali hujan akan sedikit reda.

“Hai..” aku menoleh kearah suara sekaligus pemilik tangan yang menyentuh bahuku. Seorang laki-laki berkacamata, mengenakan setelan biru tua lalu bagian luarnya mengenakan jas putih. Beberapa pensil terselip dikantongnya, pakaian yang biasa dikenakan dokter saat melakukan operasi atau sedang dalam ruang pasien.

“Dokter, Ni hau,? Sapaku sambil sedikit membungkuk sebagai salam hormat. Dokter itupun membalas salamku dengan hal serupa.

“Lama tidak bertemu, ko ta hau ma?” maksudnya menanyakan bagaimana kabarmu selama ini.

“Hen hau (baik), Ni neh? (lalu anda)

“Hai hau, (lumayan baik)” ucapnya sambil tersenyum. Namanya Alex tiga tahun lebih tua dariku, kami kenal sejak delapan bulan yang lalu saat nenekku dirawat selama 15 hari.  Kebetulan dia bertugas menjadi Dokter spesial di lantai 10 waktu itu.

“Oh, ya kata ayi (tante)kamu sudah punya pacar?” ucapnya tiba-tiba sambil merogoh ponsel kecil dari saku bajunya. Aku tercengang. Kenapa ayi cerita ke dia kalau aku sudah punya pacar.

“Kok, ngga dijawab?” tanyaku, tanpa sadar.

“Pacarku,” jawabnya ringan sambil menarik nafas dalam. “Repot,serba salah,” lanjutnya. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya. Tanpa kusadari ternyata dia sedang memperhatikan aku hingga tanpa sengaja mata kami bertemu. Aku tau dia merasa canggung hingga segera membuang muka.

“Kok cuma tersenyum?”

“Lalu, saya harus menanggapi seperti apa?” jawabku sambil menyedot minumanku dengan selang yang barusan aku ambil di sebelah kasir.

“Bukankah, Dokter mencintainya? Kenapa harus keberatan?”

Dia menaikan bahunya, “entahlah”. Aku menggaruk kepalaku.

“Kamu masih sama,” ucapnya tiba-tiba.

“Hah?” aku menaikan alisku.

Childish,” ucapnya.

“Dokter juga masih sama selalu mengatakan itu…” dia tertawa  menanggapi ucapanku yang bernada sedikit kesal.

“…tapi aku menyukainya.” Aku melongo mendengarnya.

“Kenapa kamu tidak memberikan tanggapan tentang hubunganku dengan kekasihku, atau paling tidak kamu menanyakan hubungan kami.”

Dia meraih lenganku lalu menyeretku duduk di bangku yang tersedia di  7-11. Aku pun menurut sambil memakan makanan yang kubeli barusan,lapar. Seharian aku belum makan dan lagi pula dulu dia sudah sering melihat aku makan. Bahkan dia pertama kali melihatku saat aku sedang tertidur.

“Memang perlu?” tanyaku sambil menusuk sebuah tomat kecil berwarna merah lalu kumasukan kedalam mulut. “Dokter, saya tidak tahu apa-apa tentang hubungan kalian, dan saya rasa. saya tidak perlu tahu. Kerena  saya tidak mengenal pacar Dokter sama sekali. Lagi pula wajar seandainya dia menghawatirkan, Dokter .itu sebagian wujud dari rasa sayangnya.”

Aku memasukan sayur hijau yang telah diberi mayonese. “ akan menyakitkan bila pacar anda tahu, ternyata anda lebih nyaman curhat dengan orang lain, apalagi orang itu perempuan. Bagaimana kalau saya menilai pacar anda lebih buruk? Apakah anda terima,” lanjutku

Dia terdiam sesaat. “Tentu saja itu akan aku jadikan pertimbangan.”

“Benarkah? Tapi anda salah besar.”

“Kenapa?”

“Karena yang mengenal pacar anda itu anda sendiri. Karena yang memutuskan untuk menjalin hubungan itu juga anda sendiri. Sebuah teori yang dikatakan oranglain belum tentu cocok untuk diri kita. Karena kehidupan orang berbeda-beda. Seandainya anda menyarankan saya memakai sepatu hak tinggi padahal saya terbiasa berjalan di daerah lumpur. Walaupun anda bilang saya cocok memakai sepatu itu apakah saya harus terus memakainya? Tidak kan?”

Dia terdiam mengamati aku makan sambil berbicara. Aku menoleh ke arah deretan minuman. Kuambil 2 botol minuman dari rak kedua. Sengaja aku pilih yang berbeda, satu botol dingin, satu lagi tidak. “Dokter ingat dengan minuman ini?” melihat botol berwarna hijau yang kuberikan dia langsung tertawa. Ginseng Tea With Honey Drink; salah satu jenis minuman yang terbuat dari campuran ginseng dan madu. Rasanya pahit dan sedikit ada rasa manisnya. Akan terasa lebih manis saat diminum dalam keadaan dingin, tapi akan lebih pahit bila tidak didinginkan terlebih dulu. Cara itu aku dapatkan darinya. Konon ginseng bagus untuk kesehatan  tubuh. Tapi aku tidak pernah menyukainya karena rasanya yang pahit. Namun setelah aku tahu cara itu aku lebih suka membeli yang dingin.

“Haha…ha, kamu masih mengingatnya?” ucapnya sambil meneguk minumannya itu. Lalu dia sedikit menjulurkan lidah karena aku memberikan yang tidak dingin.

“Ah kau jahat,” umpatnya

“Makanya jangan meminta  pendapat orang lain, saat Dokter sedang emosi. Orang yang emosi bukan meminta solusi, tapi kemenangan.” lalu aku berdiri dan beranjak keluar. Angin  masih tetap besar. Katanya ini akan berlangsung dua hari.

“Oh, sudah besar kamu yah?” ucapnya sambil menepuk punggungku.

I san, Ni kan siau wo la,” (dokter anda meremehkan saya).

“Mau ikut ngga?” ucapnya sambil  membuka jas hujan berwarna transparant yang terbuat dari plastik.

“Hah, wo?” aku diam tak menjawab.

Kuai itien,”(cepat sedikit).

Aku masih mematung hingga akhirnya dia menyeretku untuk segera melangkah meninggalkan 7-11. Angin semakin kencang karena jas hujan hanya menutup bagian kepala kami, tetap saja  celanaku basah. Setelah menahan rasa canggung beberapa saat akhirnya sampai juga di pintu masuk rumah sakit.  Aku mengulurkan tisu untuk Dokter Alex, Alex Chan. Pakaiannya kini tidak jauh berbeda denganku basah. Untunglah di rumah sakit ini tersedia mesin cuci lengkap dengan pengeringnya, sehingga aku tidak perlu khawatir tidak punya baju ganti lagi.  Setelah melap muka dan tangannya, Dokter Alex langsung melangkah menuju lifth.

Ta, se shei?” (dia, siapa?)tanya seorang dokter yang ada di sebelah Dokter Alex, setelah menoleh ke arahku. Lalu aku pun menganggukan kepala sebagai salam.

Dokter Alex memandang ke arahku sambil berkata, “wo meme…” (adik perempuan saya).
Aku tersenyum senang dengan sebutan itu. Padahal bulan lalu kami bertemu di rumah sakit Linkou tapi dia acuh sekali, bahkan tersenyum pun sepertinya terpaksa. Tapi sekarang dia mengatakan pada temannya kalau aku adiknya. Antara senang dan malu, akhirnya aku hanya membisu dalam lifth. Sementara Dokter Alex dan temannya sibuk ngobrol tentang pekerjaannya.

Setelah pintu lifth terbuka tepat di lantai 10, sekali lagi aku menundukan kepalaku sambil mengatakan “ca cien,” (sampai jumpa) lalu di balas dengan hal serupa oleh mereka berdua.

MK, Taipe 20092010

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun