1. “PERCOBAAN” DIKALANGAN PARA FUQAHA
Teori tentang jarimah “percobaan” tidak kita dapati di kalangan Fuqaha, bahkan istilah percobaan dengan pengertian teknis yuridis juga tidak dikenal oleh mereka. Apa yang dibicarakan oleh mereka ialah pemisahan antara jarimah yang telah selesai dengan jarimah yang belum selesai. Hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak membicarakan isi teori tentang percobaan, sebagaimana yang akan terlihat. Tidak adanya perhatian secara khusus terhadap jarimah percobaan disebabkan karena dua hal:
Pertama, percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qisas, melainkan melakukan melalui hukuman takzir, bagaimanpun juga macamnya jarimah itu. Para Fuqaha lebih banyak memberikan perhatiannya kepada jarimah-jarimah hudud dan qisas diyat, karena unsur-unsur dan syarat-syarat tetap tanpa mengalami perubahan, dan hukuman juga sudah ditentukan jumlahnya dengan tidak boleh dikurangi atau dilebihkan.
Akan tetapi jarimah-jarimah takzir, dengan mengecualikan jarimah-jarimah takzir seperti memaki-maki (menista orang) atau mengkhianati titipan, maka sebagian besarnya diserahkan kepada penguasa negara (ulul amri) untuk menentukan mecamnya jarimah-jarimah itu. Untuk menetapkan hukuman-hukuman jarimah tersebut, baik yang dilarang dengan langsung oleh syara’ atau yang dilarang oleh penguasa negara tersebut, diserahkan pula kepada mereka, agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sesudah itu, hakim diberi wewenang luas dalam menjatuhkan hukuman, dimana ia bisa bergerak antara batas tertinggi dengan batas terendah.
Kebanyakan jarimah takzir bisa mengalami perubahan antara dihukum dan tidak dihukum, dari masa kemasa, dari tempat ketempat lain, dan unsur-unsurnya juga dapat berganti-ganti sesuai dengan pergantian pandangan penguasa-penguasa negara. Oleh karena itu dikalangan para Fuqaha tidak ada perhatian khusus terhadap jarimah-jarimah takzir dan kelanjutannya ialah tidak adanya pembicaraan secara tersendiri terhadap percobaan melakukan jarimah, karena percobaan ini termasuk jarimah takzir.
Kedua, dengan adanya aturan-aturan yang mencakup dari syara’ tentang hukuman jarimah takzir, maka aturan-aturan khusus untuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman takzir dijatuhkan atas setiap perbuatan maksiat (kesalahan) yang tidak dikenakan hukuman had atau kafarat . Pencuri misalnya apabila telah melubangi dinding rumah, kemudian dapat ditangkap sebelum sempat memasukinya, maka perbuatannya itu semata-mata dianggap maksiat (kesalahan) yang bisa dijatuhi hukuman meskipun sebenarnya baru merupakan permulaan dari pelaksanaan jarimah pencurian.
Apabila pencurian tersebut dapat berbagai-bagai perbuatan yang membentuk jarimah pencurian dan dapat membawa barang curiannya keluar rumah maka, maka kumpulan perbuatan tersebut dinamakan ‘pencurian’, dan dengan selesainya jarimah pencurian itu maka hukuman had yang telah ditentukan dijatuhkan kepadanya, dan untuk masing-masing perbuatan yang membentuk pencurian itu tidak boleh dikenakan hukuman takzir, sebab masing-masing perbuatan tersebut sudah bercampur menjadi satu, yaitu pencurian.
Disini jelaslah kepada kita, mengapa para Fuqaha tidak membuat pembahasan khusus tentang percobaan melakukan jarimah, sebab yang diperlukan oleh mereka ialah pemisahan antara yang telah selesai dengan jarimah yang tidak selesai, dimana jarimah macam kedua hanya dikenakan hukuman takzir. Sungguhpun istilah “percobaan” tidak dikenakan kepada mereka, namun apa yang dimaksud dengan istilah tersebut terdapat pada mereka, meskipun dengan mengambil istilah lain yaitu jarimah tidak selesai.
Pendirian syara’ tentang percobaan melakukan jarimah lebih mencakup dari padanya hukum-hukum positif, sebab menurut syara’ setiap perbuatan yang tidak selesai disebut maksiat yang dijatuhi hukuman, dan dalam hal ini tidak ada pengecualiannya.
Siapa yang mengangkat tongkat untuk dipukulkan kepada orang lain, maka ia dianggap memperbuat maksiat dan dijatuhi hukuman takzir. Menurut hukum positif tidak semua percobaan melakukan jarimah dihukum. Misalnya pada KUHP RPA (Republik Persatuan Arab) hanya percobaan melakukan jarimah “jinayat” dan beberapa jarimah janhah saja yang dikenakan hukuman.
Menurut KUHP Indonesia percobaan melakukan pelanggaran tidak dapat dihukum .
Sesuai dengan pendirian dengan syara’, maka pada peristiwa penganiayaan dengan maksud untuk membunuh, apabila penganiayaan itu berakibat kematian, maka perbuatan tersebut termasuk kedalam pembunuhan yang disengaja. Kalau korban dapat sembuh, maka perbuatan tersebut hanya dapat dihukumi sebagai penganiayaan saja, dengan hukumannya yang khusus. Namun, apabila pembuat membunuh korbannya, kemudian tidak mengenai sasarannya, maka perbuatan itu disebut maksiat, dan hukumannya adalah takzir.
2. FASE-FASE PELAKSANAAN
Tiap-tiap jarimah mengalami fase-fase tertentu sebelum terwujud hasilnya. Pembagian fase-fase ini diperlukan sekali, karena hanya pada salah satu fase saja, pembuat dapat dituntut dari segi pidanaan, sedang pada fase-fase lainnya tidak dapat dihukum.
a. Fase Pemikiran dan Perencanaan (Marhalahal Tafkir)
Memikirkan dan merencanakan sesuatu jarimah tidak dianggap maksiat yang dijatuhi hukuman, karena menurut aturan dalam syari’at islam, seseorang tidak dapat dituntut (dipersalahkan) karena lintasan hatinya atau niatan yang tersimpan dalam dirinya, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW., sebagai berikut:
ﺇﻦﺍﷲﺗﺟﺎﻮﺯﻷﻣﺗﻰﻋﻤﺎﻭﺴﻭﺴﺕﺃﻮﺤﺩﺛﺖﺒﻪﺃﻨﻔﺴﻬﺎﻣﺎﻠﻡﺘﻌﻣﻝﺒﻪﺃﻭﺘﻜﻟﻣﺕ
Artinya: “Tuhan mema’afkan ummatku dari apa yang dibisikan atau dicetuskan oleh dirinya, selama ia ia tidak berbuat dan tidak mengeluarkan kata-kata. Seseorang hanya dituntut karena kata-kata yang diucapkannya dan perbuatan yang dilakukannya”.
Aturan tersebut sudah terdapat dalam syari’at Islam sejak mula-mula diturunkan tanpa mengenal pengecualian. Akan tetapi pada hukum positif aturan tersebut baru dikenal pada abad ke-18 Masehi, yaitu sesudah revolusi Prancis. Sebelum pada masa itu, niatan dan pemikiran dapat dihukum, kalau dapat dibuktikan. Juga, pada hukum positif terhadap aturan tersebut ada pengecualiannya.
Sebagai contoh ialah adanya perbedaan pada hukum pidana perancis dan RPA antara pembunuhan sengaja yang direncanakan terlebih dahulu dengan pembunuhan biasa yang tidak direncanakan terlebih dahulu, dimana untuk pembunuhan pertama dikenakan hukuman yang lebih berat dari pada hukuman pembunuhan macam kedua.
Menurut KUHP RPA terhadap pembunuhan berencana hukuman mati dan terhadap pembunuhan biasa dikenakan kerja berat seumur hidup atau sementara (pasal 230 dan 234).
Menurut KUHP Indonesia, pembunuhan berencana dihukum mati atau hukum penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara selama-lamanya 20 tahun, dan karena pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun .
b. Fase Persiapan (Marhalah Al-Tahdhir)
Menyiapkan alat-alat yang dipakai untuk melaksanakan jarimah, seperti membeli sejata untuk membunuh orang lain dan atau membuat kunci palsu untuk mencuri. Fase persiapan juga tidak dianggap sebagai maksiat yang dapat dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan itu sendiri dipandang sebagai maksiat, seperti hendak mencuri milik seseorang dengan cara membiusnya. Dalam contoh ini adalah dengan jalam membeli alat bius atau membius orang lain itu sendiri dianggap maksiat yang dihukum, tanpa memerlukan selesainya maksud yang hendak dituju, yaitu mencuri.
Alasan untuk tidak memasukkan fase persiapan sebagai jarimah, ialah bahwa perbuatan seseorang yang bisa dihukum harus berupa perbuatan maksiat, dan maksiat baru terwujud apabila berisi pelanggaran terhadap hak Tuhan (hak masyarakat) dan hak manusia, sedang penyiapan alat-alat jarimah paling galibnya tidak berisi suatu kerugian nyata terhadap hak-hak tersebut. Kalau dianggap menyebabkan kerugian, maka anggapan ini masih bisa ditakwilkan, artinya masih bisa diragukan, sedang menurut aturan syari’at, seseorang tidak dapat diambil tindakan terhadapnya kecuali apabila didasarkan kepada keyakinan.
c. Fase Pelaksanaan (Marhalah Al Tanfidz)
Pada fase inilah perbuatan pembuat dianggap sebagai jarimah. Untuk dapat dihukum, tidak menjadi persoalan, apakah perbuatan tersebut merupakan permulaan pelaksanaan unsur materiil jarimah atau tidak, melainkan cukup dihukum apabila perbuatan itu berupa maksiat, yaitu yang berupa pelanggaran atas hak masyarakat dan hak perseorangan, dan dimaksudkan pula untuk melaksanakan unsur materiil, meskipun antara perbuatan tersebut dengan unsur materiil masih terdapat beberapa langkah lagi.
Pada pencurian misalnya, melobangi tembok, membongkar pintu dan sebagainya dianggap sebagai maksiat yang dijatuhi hukuman takzir, dan selanjutnya dianggap pula percobaan pencurian, meskipun untuk terwujudnya perbuatan pencurian masih terdapat perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk rumah, mengambil barang dari lemari, dan membawanya keluar dan sebagainya.
Jadi ukuran perbuatan dalam percobaan yang bisa dihukum ialah apabila perbuatan tersebut berupa maksiat. Dalam hal ini niatan dan tujuan pembuat sangat penting artinya untuk menentukan apakah perbuatan itu maksiat (salah) atau tidak.
d. Pendirian Hukum Positip
Dalam kitab undang-undang hukum pidana (wetboek van strafrecht) (S. 1915-732 jis. S. 1917-497, 645, mb. 1 Januari 1918, s.d.u.t. dg. UU No. 1/1946). Pada Bab ke IV tentang percobaan pasal 53:
(1) Percobaan untuk melakukan kejahatan dipidana, bila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata disebabkan oleh kemauannya sendiri. (KUHP 154 5, 3024, 3515.)
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi sepertiganya dalam hal percobaan.
(3) Bila kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan pidana tambahan bagi kejahatan yang telah diselesaikan. (KUHP 54, 86 dst., 1845, 3024 , 3515, 3522.)
Pasal 54.
Percobaan untuk melakukan pelanggaran tidak dipidana. (KUHP 60; Inv.Sw. 46.).
Dengan demikian pendirian hukum positif sama dengan syara’ tentang tidak adanya hukuman pada fase-fase pemikiran perencanaan dan persiapan, dan pembatasan hukuman pada fase pelaksanaan semata-mata. Akan tetapi di kalangan sarjana-sarjana hukum positif terdapat perbedaan pendapat tentang saat dimana pembuat dianggap telah mulai melaksanakan jarimahnya itu.
Menurut Aliran Obyektif (objective leer), saat tersebut ialah ketika ia melaksanakan perbuatan material yang membentuk sesuatu jarimah. Kalau jarimah tersebut terdiri dari satu perbuatan saja, maka percobaan untuk jarimah itu ialah ketika memulai perbuatan tersebut. Kalau jarimah itu terdiri dari beberapa perbuatan, maka memulai salah satunya dianggap melakukan perbuatan jarimah. Mengerjakan perbuatan lain yang tidak masuk dalam rangka pembentukan jarimah tidak dianggap telah mulai melaksanakan. Dengan perkataan lain, aliran tersebut melihat kepada obyek atau perbuatan yang telah dikerjakan oleh pembuat.
Menurut Aliran Subyektif (subjectieve leer), untuk dikatakan melakukan percobaan cukup apabila pembuat telah memulai suatu pekerjaan apa saja yang mendatangkan kepada perbuatan jarimah itu sendiri. Aliran tersebut memakai niatan dan pribadi pembuat untuk mengetahui maksud yang dituju oleh perbuatannya itu. Dengan perkataan lain, aliran tersebut lebih menekankan kepada subyek, atau niatan pembuat.
Kedua aliran tersebut terlalu menyebelah (eenzijdig), sedang seharusnya kepidaan, tidak dicukupkan dengan segi dari pembuat atau dari segi perbuatannya saja, melainkan harus memperhatikan kedua segi tersebut yakni perbuatan dan pembuat.
Perbandingan dengan syari’at Islam, ternyata pendirian syari’at Islam dapat menampung kedua aliran tersebut bersama-sama. Perbuatan yang bisa dihukum menurut aliran subjectif bisa dihukum pula menurut syari’at Islam. Akan tetapi syari’at Islam menambahkan syaratnya, yaitu apabila perbuatan yang dilakukan oleh pembuat bisa dikualifikasikan sebagai perbuatan maksiat (perbuatan salah), baik bisa menyiapkan jalan untuk jarimah yang dimaksudkan atau tidak. Sedang menurut aliran subjetif perbuatan yang dimulai dikerjakan harus bisa mendatangkan kepada unsur materialnya jarimah.
Sebagai contoh ialah orang yang masuk suatu rumah dengan maksud untuk melakukan perbuatan zina dengan orang (wanita) yang ada didalamnya, dan perbuatan yang diniatkannya itu tidak terjadi, karena sesuatu sebab, ada orang lain umpamanya. Menurut aliran obyektif, perbuatan tersebut tidak dapat dihukum, sebab tidak ada kepentingan yang dirugikan. Menurut aliran subyektif, perbuatan tersebut dapat dihukum karena sudah cukup menunjukkan teguhnya maksud yang ada pada dirinya.menurut syari’at Islam, juga dapat dihukum sebab peraturan itu sendiri merupakan maksiat (perbuatan salah).
Pendirian syari’at Islam mirip dengan yang hidup dikalangan para sarjana hukum positif. Vos misalnya, menganggap aliran subyektif lebih benar dari pada aliran obyektif, akan tetapi harus diperbaiki dengan rumus berikut: pembuat baru dapat dihukum, jika perbuatannya berlawanan dengan hukum. Dengan pengertian, bahwa perbuatan itu tidak dibolehkan (oleh masyarakat atau hukum) berhubungan dengan kepentingan hukum yang dikenai oleh jarimah tersebut.
Sistem hukum pidana RPA mengambil teori subyektif, demikian pula keputusan-keputusan mahakamah kasasinya.
3. HUKUM “PERCOBAAN”
Menurut aturan syari’at Islam, untuk jarimah-jarimah hudud dan qisas, jarimah-jarimah yang selesai tidak boleh dipersamakan dengan jarimah-jarimah yang tidak selesai (percobaan). Aturan tersebut berdasar pada hadits Nabi SAW.,
ﻣﻥﺑﻠﻎ ﺤﺩﺍ ﻔﻰ ﻏﻳﺮﺣﺩ ﻓﻬﻭﻣﻥ ﺍﻟﻣﻌﺘﺩﻳﻥ
Artinya: “Siapa yang mencapai hukuman had bukan pada jarimah hudud (yang lengkap) maka ia termasuk orang yang menyeleweng”.
Aturan tersebut berlaku untuk jarimah-jarimah hudud dan qisas dan qisas termasuk juga hudud, karena hukuman tersebut sudah ditentukan pula jumlahnya. Oleh karena itu percobaan melakukan zina tidak boleh dihukum dengan hukum yang dijatuhkan atas perbuatan zina sendiri yaitu jilid dan rajam. Dengan demikian sudah sepantasnya kalau pembuat dijatuhi hukuman sesuai dengan besarnya perbuatan tesebut.
Apabila mempersamakan hukuman antara percobaan jarimah dengan jarimah yang telah selesai, maka akan mendorong pembuat untuk menyelesaikan jarimah tersebut.
Pada hukum positif sendiri kita dapati sistem pembedaan dan persamaan tersebut meskipun berbeda cara penerapannya. Pada KUHP Indonesia disebutkan bahwa hukuman percobaan melakukan suatu kejahatan diancam dengan maksimum hukuman pokok untuk kejahatan, dengan dikurangi satu pertiganya.
4. TIDAK SELESAINYA PERCOBAAN
Seseorang yang telah memulai perbuatan jarimahnya adakalanya dapat menyelesaikannya atau tidak dapat menyelesaikannya. Kalau dapat menyelesaikannya maka sudah sepantasnya ia dijatuhi hukuman yang diancamkan terhadap perbuatan itu. Kalau tidak dapat menyelesaikannya, maka adakalanya karena terpaksa atau karena kehendak dirinya sendiri. Dalam keadaan tidak selesai karena kehendak sendiri, maka adakalanya disebabkan karena ia bertobat dan menyesal serta kepada Tuhan, atau disebabkan karena sesuatu diluar tobat dan penyesalan diri, misalnya karena kekurangan alat-alat atau khawatir terlihat oleh orang lain, atau hendak mengajak temannya terlebih dahulu.
Kalau tidak selesai suatu jarimah dikarenakan terpaksa dan bukan karena bertobat, maka pembuat wajib mempertanggungjawabakan perbuatannya itu. misalnya terpaksa tertangkap atau terkena sesuatu kecelakaan yang menghalang-halangi berlangsungnya jarimah, maka keadaan tersebut tidak merubah berlangsungnya pertanggung jawaban pembuat. Selama perbuatan yang dilakukannya itu termasuk kedalam kategori maksiat.
a. Tidak Selesai Karena Taubat
perbuatan jarimah yang diurungkan (tidak diselesaikan) adakalanya berupa jarimah hirabah (pembegalan/penggarongan) atau jarimah-jarimah lain. Apabila berupa jarimah hirabah maka pembuat tidak dijatuhi hukuman atas apa yang telah diperbuatnya. Hal ini sesuai dengna firman Allah surat al maidah ayat 34: yang pada akhir ayat itu berbunyi “kecuali orang-orang yang tobat sebelum kamu dapat menangkap mereka. Maka ketahuilah bahwasannya Allah adalah Zat yang banyak memberi ampun dan kasih sayang .”
Kalau para Fuqaha sudah sepakat tentang hapusnya hukuman atas jarimah hirabah, karena tobat dan penyesalan yang dinyatakan sebelum tertangkap, maka mereka masih memperselisihkan terhadap pengaruh taubat dan penyesalan itu tersebut pada jarimah selain hirabah.
Pendapat pertama, dikemukakan oleh beberapa fuqaha dari mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali, yang menyatakan bahwa tobat bisa menghapuskan hukuman. Adapun alasan yang dikemukakan adalah bahwa Qur’an menyatakan hapuslah hukuman hirabah karena tobat, sedang hirabah jarimah yang paling berbahaya.
Kalau tobat dapat menghapuskan hukuman jarimah, maka lebih-lebih lagi untuk jarimah-jarimah lainnya. Untuk hapusnya hukuman tersebut diatas para Fuqaha memberi syarat, yaitu bahwa jarimah yang termaksud ialah yang menyinggung hak Allah, artinya jarimah yang melanggar hak masyarakat seperti perzinahan, minum-minuman keras dan bukan jarimah yang menyinggung hak perorangan seperti permbunuhan dan penganiayaan.
Menurut sebagian Fuqaha masih ada satu syarat lagi yaitu dibarenginya tobat (penyesalan) dengan perilaku yang baik dan syarat ini berarti menghendaki berlalunya sesuatu masa tertentu, untuk mengetahui ketulusan dari taubatnya itu. Tapi menurut Fuqaha lain hal ini tidak perlu karena yang cukup dengan tobat.
Berdasarkan pendapat tersebut, maka hukuman hapus dari orang yang mengurungkan perbuatan jarimahnya karena tobat, apabila jarimahnya berhubungan dengan hak masyarakat. Untuk jarimah-jarimah yang mengenai hak-hak perorangan, meskipun diurungkan karena bertobat, namun tidak menyebabkan dihapusnya hukuman.
Pendapat kedua, dikemukakan oleh imam Abu Hanifah, serta beberapa Fuqaha dikalangan Syafi’i dan Ahmad. Menurut mereka tobat tidak menghapuskan hukuman, kecuali untuk jarimah hirabah saja yang sudah ada ketentuannya. Pada dasarnya tobat tidak bisa meghapuskan hukuman karena kedudukan hukuman ialah kifarat maksiat (penebus kesalahan)
Menurut para Fuqaha ini jarimah hirabah tidak ada sedikitpun kemiripan dengan jarimah-jarimah yang lain.
Pendapat ketiga, dikemukakan oleh Ibn Taimyah beserta para muridnya, yaitu Ibn Qayyim dan kedua-duanya termasuk mazhab Hambali. Menurut pendapat kedua ulama tersebut, hukuman dapat membersihkan maksiat, dan tobat dapat menghapuskan hukuman jarimah-jarimah yang brhubungan dengan hak Tuhan, kecuali pembuat sendiri yang menghendaki hukuman untuk penyucian dirinya. Dalam keadaan menginginkan hukuman, maka ia bisa dijatuhi hukuman meskipun sudah bertobat.
b. Tidak selesai karena taubat pada hukum positif
Pada umumnya hukum positif berpendirian bahwa tobat dan penyesalan pembuat tidak dapat menghapus hukuman. Pendirian tersebut sama dengan pendapat imam-imam lain yang sependapat.
Akan tetapi beberapa macam hukum positif tidak menjatuhkan hukuman, apabila pembuat dengan kehendak sendiri tidak menyempurnakan jarimah yang telah diperbuatnya, diantaranya, ialah hukum pidana RPA prancis. Pendirian ini sama dengan sebagian Fuqaha yang mengatakan bahwa tobat dan penyesalan bisa mengahapuskan hukuman. Sistem hukum pidana lain, seperti inggris dan India, tidak membebaskan pembuat dari pertanggungjawaban, meskipun ia dengan sukarela menurungkan perbuatannya.
5. pencobaan Melakukan Jarimah Mustahil
Dikalangan Fuqaha nampak adanya pembahasan tetang percobaan melakukan “jarimah mustahil” yang terkenal dikalangan para sarjana-sarjana hukum positif dengan nama ”ondeug delijk poging” (percobaan tak terkena = ﺍﻠﺸﺭﻮﻉ ﻓﻰﺍﻟﺟﺮﻳﻣﺔ ﺍﻟﻣﺳﺘﺣﻳﻠﺔ, asy-syuru’ fi al jarimah al mustahil), yaitu suatu jarimah yang tidak mungkin terjadi (mustahil) karena alat-alat yang dipakai melakukannya tidak sesuai, seperti orang yang mengarahkan senjata kepada orang lain dengan maksud untuk membunuhnya, tetapi ia sendiri tidak tahu bahwa senjata itu tidak ada pelurunya atau ada kerusakan bagian-bagiannya, sehingga orang lain tersebut tidak meninggal. Atau boleh jadi karena barang atau perkara (voorwerp) yang menjadi objek pembuatnya tidak ada, seperti orang menembak orang lain dengan maksud untuk membunuhnya, sedang sebenarnya orang tersebut telah meninggal sebelumnya.
Biasanya dibedakan antara “percobaan-tak-terkena-absolut” dengan “percobaan-tak-terkena-relatif” (absolut ondeug delijk poging dengan relatief ondeug delijk poging). Apabila ada seseorang yang hendak meracuni orang lain bukan dengan bahan racun atau dengan bahan racun tetapi sedikit sekali, sehingga tidak menyebabkan matinya korban. Atau pengguran kandungan dengan sengaja terhadap seorang wanita yang sebebenarnya tidak hamil. Dalam kedua contoh tersebut, perbuatan-perbuatan itu disebut, “percobaan-tak-terkena-absolut”. Akan tetapi pada contoh pertama disebut absolut (mustahil) dari alat yang dipakai (midded) maka pada contoh kedua adalah absolut (mustahil) dari segi perkara yang menjadi objek (voorwerp).
Apabila pada peracun sebenarnya racun yang diberikan sudah cukup mencapai dosisnya, akan tetapi orang yang diracun kuat badannya sedemikian rupa, sehingga ia tidak meninggal, maka perbuatan tersebut disebut “percobaan-tak-terkena-relatif” dari segi alat. Atau seseorang yang mencoba meledakkan gudang alat senjata dengan bom pembakar; akan tetapi kebetulan alat senjata tersebut sedang basah. Perbuatan ini disebut “perbuatan-tak-terkena-relatif” dari segi perkara yang menjadi objek jarimah.