Di awal perkuliahan, saya sangat aktif dan bersemangat mengikuti perkuliahan, seperti seorang anak kecil yang baru mendapatkan sebuah mainan baru. Jadwal kuliah TLO selalu saya tunggu-tunggu. Setiap diskusi secara online saat kuliah, maupun saat offline dengan teman-teman sekelas sangat saya nikmati. Belum lagi, dosen selalu menggunakan berbagai softwares baru dalam perkuliahan. Di Inggris, kecepatan koneksi internet tidak seperti di Indonesia, sehingga semua pembelajaran online tidak terkendala dengan koneksi internet.
Namun, keaktifan dan semangat saya itu hanya bertahan beberapa minggu saja. Setelah itu, saya mulai kehilangan ‘gairah’ belajar mata kuliah TLO. Beberapa kali saya melewati perkuliahan online. Saya tidak khawatir karena semua materinya tersimpan secara online dan bisa dibuka kapan saja, termasuk perkuliahan secara online selalu direkam dan bisa di-download secara bebas. Bahan-bahan bacaan tersebar rapi di sebuah website. Mungkin karena semuanya bisa didapatkan dengan mudah, saya akhirnya menganggap remeh mata kuliah ini dan akhirnya ketinggalan jauh dari teman-teman lainnya.
Akhirnya, saya tersadar dan mulai mengejar ketertinggalan di mata kuliah TLO, karena kalau gagal di satu mata kuliah bisa berakibat buruk. Di Inggris tidak ada jaminan mahasiswa S2 akan pasti lulus dengan gelar Master. Kalau gagal, mahasiswa akan lulus dengan gelar Postgraduate Diploma setara S1. Disini, ada hal yang menarik terjadi. Jika diawal perkuliahan saya sangat aktif dan bersemangat sekali belajar TLO, pada akhir-akhir perkuliahan saya juga aktif dan semangat mengejar ketertinggalan tapi dengan cara yang berbeda. Saya tidak lagi ikut aktif dalam setiap diskusi, tapi saya aktif membaca setiap komentar dan pendapat teman-teman sekelas dan dosen. Saya buka semua file-file perkuliahan, kemudian membacanya satu persatu. Teman-teman dan dosen tidak lagi melihat saya aktif berbicara, sehingga mereka kadang menganggap saya tidak ada, padahal saya ada dan mengikuti semua pembicaraan mereka. Tanpa sadar, ternyata saya bertransformasi dari ‘an active learner’ menjadi ‘a vicarious learner’. Selanjutnya, konsep tentang ‘vicarious learner’ ini menjadi bagian dari tugas akhir mata kuliah TLO saya, dan mendapatkan nilai yang cukup memuaskan.
Saya melihat konsep ‘vicarious learner’ bisa diterapkan diberbagai bidang pembelajaran, termasuk saat seseorang ingin belajar menulis. Beberapa studi bahkan menunjukkan bahwa vicarious learners bisa melampaui prestasi para active learners dalam pembelajaran. Mari kita lihat bagaimana hal itu bisa terjadi.
Vicarious learner
Vicarious learner bisa dikatakan sebagai seorang pembelajar yang tersembunyi. Misalnya, dia jarang terlihat aktif berbicara dalam setiap diskusi, tapi dia sebenarnya selalu mengikuti setiap komentar, pendapat, ide, dan lain sebagainya dalam diskusi tersebut. Dia hanya mengamati, kemudian berpikir dan memilah semua komentar, pendapat, dan ide-ide yang keluar dalam diskusi tersebut. Dia akan mengambil hal-hal yang penting dan substansi untuk pembelajarannya. Dan sekali lagi, orang-orang disekitarnya tidak mengetahui hal ini. Mereka hanya mengetahui kalau si vicarious learner ini orang yang pasif. Biasanya mereka akan terkejut ketika hasil pembelajaran menunjukkan kalau orang-orang yang mereka anggap pasif ini mendapatkan nilai yang lebih tinggi atau manggapai prestasi melebihi apa yang mereka dapatkan.
Vicarious learner dalam konteks belajar menulis
Waktu saya baru mendapatkan beasiswa S2 ke Inggris lalu, sebagian besar teman-teman lain yang mendapatkan beasiswa ini adalah penulis. Mereka sudah menulis lebih dari satu buku, ada yang tulisan artikelnya sering terbit dikoran, sampai ada yang bekerja sebagai editor disebuah perusahaan publikasi terbesar di Indonesia. Di mata mereka, saya bukan apa-apa dan saya sangat menyadari hal itu.
Tetapi, mereka tidak tahu kalau saya selalu membaca tulisan-tulisan mereka. Ditambah lagi, mereka selalu update informasi tentang tulisan mereka di milist dan FB grup, semakin mudah saja saya mendapatkan link tulisan mereka dan membacanya. Ketika membaca tulisan mereka, saya pelajari organisasi tulisannya. Saya cermati hal-hal yang membuat tulisan mereka bagus dan banyak yang membaca. Kata-kata dan kalimat yang bagus, saya ambil dan simpan. Selain itu, saya menemukan kalau setiap tulisan dari orang yang berbeda, gaya penulisan juga ikut berbeda. Maka, saya mencoba memadukan antara gaya penulisan orang ini dangan orang yang satunya lagi. Alhasil, baru beberapa bulan, saya berhasil memenangkan lomba, menerbitkan artikel di Kompas, sampai menerbitkan sebuah buku. Proses pembelajaran seperti bisa dikatakan sebuah proses pembelajaran dalam konteks belajar menulis sebagai vicarious learner.
Kunci sukses menjadi vicarious learner dalam sebuah pembelajaran
Kesuksesan dalam menjadi seorang vicarious learner dalam sebuah pembelajaran sangat bergantung ‘dengan siapa dia belajar’. Maksudnya, ketika seseorang ingin belajar menulis dan menggunakan konsep vicarious learner, dia harus pastikan kalau tulisan-tulisan yang di baca adalah tulisan-tulisan yang terbaik atau ditulis oleh orang-orang yang sudah terkenal kualitas tulisannya. Pada dasarnya, diwaktu seseorang membaca sebuah tulisan, dia sedang belajar dari si penulis bagaimana menulis tulisan seperti itu. Oleh sebab itu, seorang vicarious learner harus tahu dan pandai men-spot mana penulis-penulis atau tulisan-tulisan terbaik yang harus di baca agar dia bisa belajar darinya.
Bisa dikatakan,” To be the best, we have to learn from the best”. Jadi, untuk bisa menjadi yang terbaik, belajarlah dari orang-orang terbaik dibidang yang kita inginkan itu. Jangan belajar dari yang ecek-ecek, akhirnya nanti kualitas kita juga ecek-ecek nantinya :)
Semangat menulis!