Riha termenung, ketika ia memandang lembayung senja yang menggaris membelah sebagian langit, sore itu begitu cerah, tidak seperti biasanya kabut hanya menyelimuti tipis kaki bukit Papandayan, sesaat kemudian terlintas bayangan Afandi, kekasih hatinya, tunangannya, air matanya pun tak terbendung, Riha terisak, butir air mata menetes dipipinya yang merah.
“haha, kamu ini ada-ada saja, massa mas mu ini disuruh bawa onta, itu bukan romantis tapi menyiksa” ujar Afandi lewat seluler.
“Abis aku bosen mas, naik sepeda onthel, katanya mau yang romantis sekalian aja pake onta, nah mas yang beli tuh di Mekah” jawab Riha sambil cemberut.
Meskipun jarak mereka berjauhan tapi seakan mereka memahami ekspresi wajah diantara mereka.
“Yo wis, aku mau isti’dzan (mohon izin) pulang ke Ustad Abu bakar di kediamannya di Madinah, setelah itu aku mau berkemas, besok aku sudah beragkat dari Jeddah, kamu istirahat gih, besok kan katanya mau nemenin ummi belanja ke pasar” kata Fandi.
“ya mas mangga (silahkan, sunda)” jawab Riha.
“Assalamualaikum”
“wa’alaikum salam”.
Kata-kata itu seakan masih melekat ditelinga Riha, selalu membayang dibenaknya, canda terakhir lewat telepon sebelum akhirnya pesawat boing 7774R yang ditumpangi Afandi mengalami kerusakan mesin dan gagal mendarat darurat di Kuala Lumpur, terdengar kabar tidak ada korban dalam gagal landing tersebut namun semua penumpang terbengkalai di Malaysia hingga akhirnya Riha menyadari bahwa Afandi tidak ada kabar, handphonenya tidak bisa dihubungi, dan semenjak itu pula Afandi hilang.
Riha masih terbaring di sofa di beranda rumahnya, kosong, hatinya masih melayang membayangkan Afandi, senyumnya, candanya, segalanya dan apapun kenangan yang pernah diarungi bersama Afandi kembali terkenang, meskipun sebenarnya lelah, ia tetap terhadap keyakinannya, suatu saat Afandi akan datang, menjawab semua impian yang pernah mereka berdua rajut, tak terasa iapun terlelap, tidur dengan senyuman hampa.