Dan reaksi warga Kampung pun beragam dengan wacana Koh Asun itu. Ada warga yang mencibir. Ada yang mendukung. Ada pula yang mempertanyakan niat tulus dan baik Koh Asun.
" Apa sih maksud Koh Asun ingin menjadi Kepala Kampung? Apa masih kurang duitnya? Apa dia mau menimbun harta?," teriak Mang Rucen saat warga sedang berkumpul di warung kopi Mang Liluk yang terletak disudut Kampung.
" Lho, gimana kalian ini. Memilih dan dipilih itu adalah hak konstitusional warga negara. Dilindungi negara. Hak azazi warga masyarakat. Siapapun boleh menjadi pemimpin asalkan memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku di negeri ini.," jawab Pak Fredi.
" Benar dan betul itu, Pak. Permasalahannya, Koh Asun itu kan sudah kaya. Makmur hidupnya. Duitnya banyak. Usahanya bejibun. Cuma bintang dan langit saja beliau itu tak punya. Bagi-bagilah dengan warga lain. Masa semuanya diraup. Kayak Kampung ini miliknya pribadi," balas Mang Rucen dengan ketus.
" Ha...ha...ha.... Kalian ini ada-ada saja. Orang mau mencalonkan diri menjadi pemimpin kok diperkarakan," ujar Pak fredi sambil ngakak terbahak-bahak. Para penggemar kopi di warung Mang Liluk pun terkaget-kaget. Suara tawanya Pak Fredi melengking seakan menembus langit tujuh. Mentari pun tersenyum. Sinarnya terang. Seterang jiwa-jiwa warga Kampung yang membicarakan frasa Koh Asun jadi kepala Kampung.
Ternyata keinginan Koh Asun maju sebagai Kepala Kampung bukan sekedar wacana dan perbincangan kosong para warga Kampung semata. Menurut beberapa warga, Koh Asun telah membentuk timses dan tim pemenangan untuk menggolkan niatnya berkompetisi di pemilihan Kepala Kampung bulan depan itu. Koh Asun sudah bertekad untuk maju dan memenangkan kompetisi itu.Beberapa warga telah menyatakan siap untuk menjadi tim relawan Koh Asun. Infonya tim Koh Asun ini telah terbentuk dan siap untuk membeberkan visi dan misi Koh Asun kepada semua warga Kampung.
" Saya telah dipanggil Koh Asun ke rumahnya. Beliau meminta saya untuk menjadi timses di wilayah RW saya," ujar Mang Tasan dimasjid menjelang sholat magrib.
" Saya juga. Semua persiapan sudah tertata rapi. Siap tempur," timpal Mang Usuf.
" Kalau saya jujur, saya tidak mau menjadi timses Koh Asun. Saya tak mau. Itu sudah harga mati," sambung Mang Brewok. Perbincangan tentang niat Koh Asun yang mau mencalonkan diri dalam pemilihan kepala Kampung pun terhenti karena suara azhan sudah berkumandang.
Bagi warga kampung, nama Koh Asun dan keluarganya bukanlah warga asing. Sudah tujuh keturunan keluarga Koh Asun tinggal dan berbaur dengan warga. Kendati datang dari kalangan minoritas, namun keluarga Koh Asun tak pernah merasa canggung dalam kehidupan bermasyarakat. Koh Asun dan saudaranya juga lahir dan besar di Kampung Kami.
Sejak era bapaknya Koh Asun masih hidup, hubungan silahturahmi dengan warga berjalan baik dan harmoni. Sikap toleransi berjalan baik. Bapaknya Koh Asun dikenal darmawan dan penolong. Banyak jasa yang telah diberikan keluarga Koh Asun terhadap perkembangan pembangunan Kampung. Dulu mobil Bapaknya Koh Asun adalah alat transportasi bagi anak para warga yang bersekolah di luar Kampung. Maklum dulu di Kampung kami sekolah cuma ada SD. Untuk SMP dan SMA harus ke Kecamatan. Dan mobil bapaknya Koh Asunlah yang dipakai untuk antar jemput anak-anak sekolah. Gratis dan tanpa pungutan satu sen pun.
Dan bapaknya Koh Asun sangat benci dan marah kalau ada warga yang tidak menyekolahkan anaknya. " Apa kamu mau bikin anakmu bodoh dan dibodohi orang pintar,ya," ujarnya dengan nada tinggi. Lalu disambung dengan frasa khasnya " Mati lo. Bangklut negara klo rakyatnya bodoh.
Dari tiga bersaudara, hanya Koh Asun yang menetap di kampung. Dua adiknya tinggal di Kota. Pulangnya hanya setahun sekali ketika ada perayaan keagamaan. Dan setiap pulang kedua adiknya selalu memberikan bantuan untuk pembangunan Kampung dan warga yang sedang dilanda musibah. Kelaziman ini sudah bertahun-tahun mareka lakoni sebagai bentuk soladaritas mareka sebagai warga Kampung. bahkan banyak pula warga Kampung yang menjadikan tempat dan rumah adik Koh Asun di Kota sebagai tempat beristirahat kalau mareka ke Kota.
Walaupun bersekolah tinggi, Koh Asun tidak mau tinggal di Kota. Tak manusiawi dan tak ada kedamaian ujarnya saat ditanya para warga. Koh Asun meneruskan usaha Bapaknya yang sedari dulu membuka usaha toko sembilan bahan pokok dan perkebunan. Perkebunan sawit dan lada milik Koh Asun sangat luas. Banyak warga Kampung yang hidup dari perkebunan itu. Bahkan ada yang sudah bekerja semenjak perkebunan itu masih dikendalikan Bapaknya Koh Asun.
Usai sholat Isya, aku mampir kerumah koh Asun untuk bersilahturahmi . Langit amat cerah. Bintang gemintang bertaburan di langit. Cahaya rembulan seolah menjadi teman ku menuju rumah Koh asun yang terletak di ujung Kampung. Sudah lama aku tak berjumpa dengan Koh Asun. Walaupun kami se Kampung, namun dikarenakan kesibukan masing-masing, kami jarang bertemu dan ngobrol panjang lebar.
Saat tiba di rumah Koh Asun, tampak sang pemilik rumah sedang asyik berbincang dengan beberapa warga Kampung yang amat ku kenal. Mareka tersenyum bahagia saat melihat kedatanganku. Demikian pula dengan Koh Asun. Wajahnya sumringah. Tampak bahagia dengan kedatanganku yang tiba-tiba itu.
" Masuk. Masuk sahabat. Udah lama kita nggak ketemu,ya Bro," sambut Koh Asun dengan menyebut Bro sebagai panggilan akrab kami sambil memeluk ku. " Bu. Ibu. Kita kedatangan tamu agung dan penting," ujar Koh Asun kepada istrinya saat kami masuk ke dalam rumahnya. Dan istrinya Cik Aini menyambut kehadiran ku sambil menanyakan minuman yang kusukai.
Usai berbasa-basi, kami saling bercerita tentang berbagai masalah. Mulai dari soal Pileg yang kacau balau hingga soal Pilpres. Soal Wapres Boediono yang dibersaksi di pengadilan tipikor. Termasuk soal pembangunan di Kampung kami.
" Terus terang, bro. Bukannya aku mengecilkan peran yang dilakukan Pak Kades kini, namun ku pikir pembangunan di kampung kita ini amat tertinggal jauh dibandingkan dengan Kampung sebelah. Jalan saja baru kini diaspal. Sekolah baru sampai SMP. Padahal lulusan SMP di Kampung kita ini banyak sekali tiap tahunnya," papar Koh Asun dengan nada suara berapi-api bak orator parpol yang sedang kampanye di panggung politik.
" Oh, jadi itu yang membuat Koh Asun tertarik menjadi Kepala Kampung," tanyaku sambil menghirup hidangan kopi yang sedari tadi telah berubah rasa karena asyik mendengarkan narasi dari Koh Asun.
" Iya," jawab Koh Asun dengan nada suara yang mantap. Narasinya meyakinkan sebagaimana narasi dari para terpidana kasus korupsi saat menjawab pertanyan hakim seperti yang sering kita lihat di tipi-tipi itu. " Kalau sebagai kepala Kampung saya tak bisa mendirikan sekolah SMA dan pembangunan pasar, maka saya akan mundur. Saya ingin berbuat dan mengabdi untuk warga kampung. Apalagi usia kita kan tak muda lagi. Aku ingin meninggalkan warisan buat warga sebagai bekal di alam kubur nanti. Duit dan harta tak dibawa mati,bro," jawabnya dengan suara tinggi sambil tersenyum bahagia.
Mendengar paparan Koh Asun aku hanya mengangguk-mengangguk saja. Diam membisu. Tak ada kata yang keluar dari mulutku. Dalam hatiku membenarkan narasi dan paparan Koh Asun. Dan kini aku baru yakin bahwa keinginan Koh Asun untuk menjadi Kepala Kampung Kami karena ingin mengabdi. Bukan untuk mencari kehormatan diri dan keluarganya. Apalagi untuk mencari dan menghimpun harta. Sepertinya jauh panggang dari api. Malam semakin larut. Cahaya rembulan benderang. Seterang benderang niat Koh Asun yang tulus untuk mengabdi kepada para warga Kampung dengan menjadi Kepala kampung.
Koh Asun, Koh Asun. Kalau semua para kandidat Kepala daerah dan Pemimpin bangsa ini berniat seperti Koh Asun, sungguh maju dan makmur rakyat negeri ini. Koh Asun, aku mendukungmu. (Rusmin)
Rusmin
Toboali, Bangka Selatan 10 mei 2014