Menilisik pesan itu membuat kerut kening saya bertambah lebar. Bagaimana tidak ditengah banyaknya teriak dari para penggiat LSM anti korupsi di daerah-daerah yang terus berdentang bak jarum jam, KPK tampak lebih fokus mengurusi koruptor yang lebih bergema dan meresonansi citra mareka sebagai lembaga penegak hukum dimata publik lewat media nasional.
Dan kalaupun ada korupsi di daerah yangdigiatkan oleh Kepala daerah, maka impacnya pasti berkolaborasi dengan para elite politik bangsa ini yang sangat layak untuk diwartakan dan mengeskalasi citra KPK sebagai lembaga penegak hukum yang tak kenal kompromi dengan koruptor.
Contohnya kasus korupsi Bupati Buol Amran yang melibatkan pengusaha besar dan politisi Hartati Murdaya. Siapapun kenal dan tahu kiprah Hartati sebagai salah satu pentolan sebuah Partai Penguasa saat itu. Demikian pula dengan kasus Ratu Atut yang gema resonansinya menjadi bidikan para pewarta dan media nasional.
Dan kini mantan Kepala daerah Bangkalan Fuad Amin pun setali tiga uang. Dampaknya pasti memiliki resonansi dengan para elite negeri ini.
Lantas bagaimana dengan aksi korupsi para Kepala daerah di daerah-daerah yang jauh dari hingar bingar pemberitaan? Jangan harap KPK akan mempercepat proses kasus itu walaupun anda sebagai aktivis teriak setinggi langit.
Fenomena ini memfaktakan kepada kita sebagai rakyat bahwa pemberantasan korupsi memang tebang pilih, terutama lokasi dan wilayahnya. Makin genit daerah itu dalam pemberitaan media massa nasional, makin gencar KPK menegakan hukum. Dan makin jauh dari keramaian media, maka menipis pula pelung koruptor didaerah untuk diselesaikan KPK.
Padahal kita tahu didaerah, terutama di provinsi-provinsi yang memiliki sumber daya alam yang melimpah aksi korupsi para petinggi daerah makin sexy. Dengan kewenangannya mareka para kepala daerah bisa mengeluarkan izin-izin pertambangan yang kadangkala kontradiksi dengan RTRW dan program nasional. Dan mareka tenang-tenang saja. KPK mareka anggap sebelah mata karena mareka berpikir bagaimana mungkin KPK bisa memprodeokan mareka sementara keberadaan daerah yang mareka pimpin pun jauh dari hingar bingar media massa nasional.Para petinggi daerah mengasumsikan narasi berapi-api dari para pimpinan KPK sebagai sebuah " kelakar gebeng " atau dalam bahasa Toboali berarti sebagai omongan saja alias omdo.
Kehadiran KPK sebagai lembaga penegak hukum ternyata belum mampu mengerem para penggiatnya didaerah-daerah, terutama para pembuat kebijakan di daerah. Bahkan makin hebat. Buktinya terdakwa pun masih bisa menjadi pejabat tinggi di Sumatera Utara yang kita yakini memiliki gema resonansi yang tinggi dalam wilayah pemberitaan media massa. Padahal kita tahu limpahan dana yang dikucurkan Pemerintah Pusat ke daerah sungguh fantastik nilainya dalam bidang pendidikan dan kesehatan serta bidang infrastruktur.
Tampaknya eksistensi KPK perlu diperluas kembali hingga ke daerah-daerah sehingga garapan dan ruang wilayah kerjanya makin luas dalam memprodeokan para penggiatnya yang kini telah menjamur bak cendawan dimusim hujan didaerah-daerah.
Inilah PR bagi semua pihak tak terkecuali KPK untuk melawan darurat korupsi yang telah melanda bangsa ini yang membuat bangsa ini rakyatnya harus miskin dan marginal ditengah melimpahruahnya sumber daya alam bangsa. Apakah kita ingin miskin dan mati ditengah lumbung padi yang melimpah?
Tanyakan jawabannya pada rumput yang bergoyang sebagaimana nasihat musikus Ebiet G Ade. Salam Junjung Besaoh...(Rusmin)