Ternyata tanah tersebut di sebuah kawasan pinggiran sungai musi, yang merupakan lahan sawah lebak yang sangat subur. Dulu bila musim tanam tiba, dan air sedang surut, semak-semak akan dibabat, benih padi ditebarkan, dan 6 bulan setelah itu para petani akan datang untuk memanen padi. Selama masa 6 bulan itu, daerah ini akan mirip lautan di saat pasang, dan diwaktu surut merupakan tempat memancing yang nyaman. Ikan Gabus, betok, sepat,lele,dan belut sangat mudah di dapat disini. Ditambah dengan kangkung dan genjer yang tumbuh liar tapi tetap enak bila sudah diatas meja makan. Sebuah kenangan masa kecil.
Dan tanah inilah yang akan segera berubah menjadi areal perkebunan rakyat. Sebuah perkebunan tanpa arahan, tanpa koordinasi, dan tentunya tanpa pengenalan terhadap sistem pertanian yang berkelanjutan. Ya, petani perkebunan memang lebih makmur , meskipun akhir akhir ini terpuruk. Tapi mereka peroleh semua tidak dengan sekejab, ada proses, ada masa pahit dan ada perjuangan. Kelapa sawit tidak salah, tapi kenapa harus tanah ini. Kenapa begitu mudah tanah berpindah kepemilikan, ini memang tanah nenek moyang tapi juga adalah tanah titipan. Ah..mungkin generasi selanjutnya tidak akan tahu bagaimana nikmatnya memancing ikan di tanah lebak.
Antara idealisme dan peluang berkejaran saat ini...entah yang mana yang akan dipilih...