Pada setiap jejak hujan, yang berhamburan di setiap tikungan jalan. Lahirlah sebuah demokrasi, bagaimana memilih kata-kata yang pantas, untuk menyatakan cuaca, sebagai pemilik sebenarnya masa.
Tidak ada lagi kata langit, sebab yang teringat adalah rasa sakit, atas udara yang begitu mencekam, pada sebuah musim yang kehilangan garam. Hambar dan sulit ditakar.
Seorang perempuan. Berusaha menyusun air matanya. Dalam sebuah teka-teki. Apa saja yang membuatnya begitu berduka.
Selain kerinduan tentu saja. Karena rindu tak mengenal gelisah. Atau rasa cemas yang dikemas. Dengan kata baik-baik saja.
Sunyi itu, bukan sepi yang bunuh diri. Tapi keramaian yang patah hati. Atas banyaknya percakapan. Yang kehabisan halaman. Pada buku-buku di segala jenis perpusatakaan.
Risalah seorang perempuan, yang cemas atas airmatanya. Menjadikan seorang penyair, yang hanya bisa hidup di dunia sihir, memahat butirannya, sebagai mantra-mantra.
Bogor, 16 April 2020