----
Dunia para penyair memperlihatkan mereka menodongkan ujung pistol ke kepala masing-masing agar dunia nyata cepat berakhir.
Semesta para pemikir menunjukkan mural tak senonoh yang digambar pada otak-otak pintar yang digrafir dengan menggunakan ujaran-ujaran pandir.
Bumi para pujangga menampakkan siluet jingga dari banyaknya kaldera yang ditumpahi bisa dari kata-kata yang pada tempatnya tapi tidak pada makna yang semestinya.
Rasi para penyendiri meredup di lingkaran galaksi pikiran mereka yang menyimpan caci-maki untuk diri sendiri lalu keesokan harinya ditemukan mati bunuh diri.
Kota-kota yang bersedia melahap apa saja termasuk pahala maupun dosa menyalakan lampu di siang hari sebagai pertanda siapa saja bisa disakiti tanpa merasa perlu sakit hati.
Desa-desa yang dari matanya mengalirkan airmata dari mata air yang makin lama makin mengecil mencoba sekuat tenaga agar para penghuninya tidak pergi dengan menjanjikan kobaran cinta tak mati-mati.
-----
Keramaian itu berubah menjadi kesepian saat para penyair dan para pemikir memutuskan untuk patah hati terhadap realita yang terus-terusan terluka, sedangkan para pujangga dan penyendiri membuat kesimpulan bahwa kata cinta itu terlahir dari neraka setelah terlempar dari surga.
Sementara kota dan desa saling menukar keranda bagi padamnya keyakinan orang-orang urban akan matinya kata bahagia, tak lagi dengan hormat memakamkannya, namun tetap mengafaninya dengan kain lusuh dari sisa-sisa asa yang terlanjur menua.
Sampit, 22 Juni 2019