Saya mencoba menulisi udara dengan sajak-sajak dan puisi dari isi kepala yang nyaris terlepas. Semacam melukis tanpa kanvas, menggaris tanpa batas, dan menapis kebenaran tanpa harus meretas.
Sebuah khayalan. Terkadang menjadi liar jika kita mempercayainya secara berlebihan. Contohnya, saya memimpikan meminum kopi di sebuah pagi yang berseri-seri padahal saya masih berada di wilayah dinihari. Tentu lidah saya tidak berdecap nikmat karena saya justru tersesat. Dalam labirin otak saya yang dikendalikan keinginan tak bertuan. Tanpa majikan. Karena sebuah khayalan bagaimanapun tidak akan pernah mempunyai majikan. Selama itu belum menjadi kenyataan.
Sebuah kenyataan. Kadangkala tidak sesuai dengan harapan. Contohnya, saya berharap saya berhasil menyelesaikan sebuah tulisan tapi ternyata saya justru hanya berpusar pada kisaran keyakinan. Benak saya tidak bergerak, tangan saya tetap berjarak, dan mata saya tak lebih terang dari sebuah lilin terbakar di teriknya siang yang silaunya enggan beranjak.
Jadi beginilah rupanya singgah pada koma yang terlalu membatu. Pikiran melayang seperti elang yang merindukan angkasa, lumba-lumba yang kehilangan lautan, atau kupu-kupu yang kehabisan waktu.
Kira-kira begitu.
Jakarta, 12 Juni 2019