Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi Pilihan

Fajar di Danau Sembuluh

5 Mei 2019   14:53 Diperbarui: 5 Mei 2019   14:58 115 9
Memandangi cahaya pertama matahari yang jatuh di ujung atap sebuah rumah yang kesepian di pinggiran danau yang ramai oleh kehidupan, mengingatkan aku pada harapan yang akan selalu terbit seperti fajar setelah rahasia malam selalu saja memaksanya memudar.

Danau itu mengaduk beningnya air yang tenang bersama heningnya kepak sayap burung enggang saat melintasi perbukitan yang rimbun oleh riuh rendah orang-orang pedalaman menuliskan kearifan di daun-daun meranti yang hanya tinggal sekelompok lagi. Kearifan yang nyaris mati setelah laju peradaban mengupas tanah kalimantan nyaris tiada henti.

Cahaya berikutnya menimpa muka danau yang matanya lantas berkaca-kaca mengingat masa lalu ketika kanan kiri tubuhnya masih dipenuhi tatapan cinta ramin dan mersawa. Kisah yang telah punah menjadi potongan-potongan sejarah yang lupa dituliskan menggunakan tinta basah.

Rumah yang kesepian itu tanpa penghuni dan juga tanpa mimpi. Lenyap ditelan senyap yang diciptakan wajah zaman yang menggelap. Di suatu waktu ketika perut orang-orang membesar dan menelan apa saja dengan lahap. Termasuk serpihan lansekap yang berserak di ruang-ruang pengap.

Akhirnya cahaya matahari meninggi. Memanjati pelepah dan tajuk Elaeis yang saling mengaitkan jemari. Mempersilahkan para petani menjemput buah-buah masak yang dipersembahkan Gaia sang Dewi Bumi. Untuk bekal sekolah dan mengaji anak-anaknya esok hari.

Sampit, 5 Mei 2019

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun