tujuh hari yang akan aku habiskan untuk menuliskan bait-bait puisi tentang pulang. Atas tersesatnya elang di padang ilalang, lebah yang dibutakan asap sehingga tak hafal lagi mana pohon Sialang, juga serombongan ikan Bilis yang kehilangan hulu sungai akibat banyaknya pohon dipaksa tumbang.
separuh hati lainnya aku sumbang. Untukmu wahai tukang kembang. Tolong letakkan di musim bunga kopi. Supaya aku selalu berhati-hati. Saat duduk di hadapan tungku. Panasnya mudah saja menjilat ujung lidahku.
lantas saja aku memaki-maki. Segala perihal yang membuat bumi ini berniat bunuh diri. Terumbu karang yang berkelojotan, anak-anak ikan yang bermatian, juga rasa asin yang bercampur dengan bau Alkana, setelah bercangkir minyak mentah tumpah di lautan yang tak bisa berbuat apa-apa.
semua hatiku sudah aku serahkan kepadamu wahai tukang kembang. Sekarang terserah kepadamu apa yang akan kau lakukan. Membuangnya ke selokan agar larut bersama bermacam kotoran, atau kau gali lubang lalu kau tancapkan batu nisan.
Jakarta, 1 Nopember 2018